Jumat, 26 Desember 2014

Amalan-amalan Yang Bermanfaat Bagi Orang Mati.




 AMALAN-AMALAN YANG BERMANFAAT BAGI ORANG MATI

 

Sesungguhnya manusia berdasarkan fitrahnya, diciptakan senang memberikan manfaat kepada orang yang telah meninggal dunia, dengan anggapan bahwa amalan yang mereka kerjakan itu bisa memberikan manfaat kepada si mayat ketika berada di dalam kuburan dan setelah ia dibangkitkan darinya.

Di antara amalan yang paling banyak dilakukan oleh umat Islam dewasa ini adalah tahlilan dan yasinan, yaitu dengan memperingati hari-hari tertentu dari kematian seseorang dengan anggapan bahwa itu dapat membantu perjalanan roh orang yang meninggal menuju akhirat.


Padahal hal ini sama sekali tidak pernah dicontohkan dan diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam

Nabi bersabda:

 مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan tersebut tertolak."
(HR. Bukhari dan Muslim)

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَآمَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ , ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَأَنَّ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَبِّهِمْ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ لِلنَّاسِ أَمْثَالَهُمْ

Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan Itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki Keadaan mereka.


Yang demikian adalah karena Sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang bathil dan Sesungguhnya orang-orang mukmin mengikuti yang haq dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka.
(QS. Muhammad  [47]:2–3)


Berdasarkan hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, maka ada beberapa amalan yang pahalanya bisa terus mengalir bagi seseorang meskipun ia telah meninggal dunia.

Di antaranya adalah:


AMALAN DARI PERBUATANNYA SENDIRI SEBELUM MENINGGAL

1.  Shadaqah jariyah:

Shadaqah jariyah adalah suatu ketaatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mengharapkan ridha Allah Ta’ala, agar orang-orang umum bisa memanfaatkan harta yang disedakahkannya tersebut sehingga pahalanya mengalir baginya sepanjang barang tersebut masih ada.

Dan ayat ini menyatakan pahalanya untuk diri sendiri :

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
laysa 'alayka hudaahum walaakinna allaaha yahdii man yasyaau wamaa tunfiquu min khayrin fali-anfusikum wamaa tunfiquuna illaa ibtighaa-a wajhi allaahi wamaa tunfiquu min khayrin yuwaffa ilaykum wa-antum laa tuzhlamuuna

"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)."
(QS. Al Baqaran [2]:272)

Para ulama telah menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf untuk kebaikan. Seperti mewakafkan tanah, masjid, madrasah, rumah hunian, kebun kurma, mushaf Al-Qur’an, kitab yang berguna, dan lain sebagainya.

Di sini merupakan dalil disyariatkannya mewakafkan barang yang bermanfaat dan perintah untuk melakukannya, bahkan itu termasuk amalan yang paling mulia yang bisa dilakukan seseorang untuk kemuliaan dirinya di akhirat. Yang pertama ini bisa dilakukan oleh para ulama maupun orang awam.


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ إِبْنُ آدَمَ إِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِه, أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

"Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendo’akan keduannya."
[HR. Muslim, HR. Muslim (5/73), Imam Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad hal.8, Abu Daud (2/15), an-Nasa’i (2/129), ath-Thahawi di dalam Al-Musykil (1/85), al-Baihaqi (6/278), dan Ahmad (2/372). Lihat Ahkamul Jana-iz Wa Bida’uha oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal.224].


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga bersabda:

مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

"Barangsiapa yang membangun masjid untuk mencari wajah Allah, niscaya Allah membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga."
(HR. Bukhari dan Muslim).


2. Ilmu yang Bermanfaat:

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا فَلَهُ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الْعَامِلِ

"Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun."
(HR. Ibnu Majah).


Sama saja apakah dia mengajarkan ilmu tersebut kepada seseorang atau berupa buku yang orang-orang mempelajarinya setelah kematiannya.


Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, bahwa

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِى الْمَاءِ
(رواه ابن ماجه)

"Sesungguhnya Orang yang menuntut ilmu (syar’i) akan dimintakan ampunan oleh segala sesuatu yang ada di langit dan bumi, sampai ikan-ikan yang ada di dalam lautan."
(HR. Ibnu Majah)


Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

"Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk (kebajikan), maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun.
Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun."
(HR. Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan selainnya)
Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: "Hal ini (yakni ilmu yang bermanfaat) bisa dilakukan dengan cara seseorang mengajarkan ilmu kepada manusia perkara-perkara agama mereka. Ini khusus bagi para ulama yang menyebarkan ilmu dengan cara mengajar, mengarang dan menuliskannya."

Orang yang awam juga bisa melakukannya dengan cara ikut serta di dalamnya berupa mencetak kitab-kitab yang bermanfaat atau membelinya lalu menyebarkannya atau mewakafkannya. Juga membeli mushaf lalu membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan atau meletakkannya di masjid-masjid.

Hal ini menganjurkan kita untuk mempelajari ilmu dan mengajarkannya, menyiarkannya dan menyebarluaskan kitab-kitabnya agar bisa mengambil manfaat sebelum dan sesudah kematian dia. Manfaat ilmu akan tetap ada selama di permukaan bumi ini masih ada seorang muslim yang sampai kepadanya ilmu tersebut.

Berapa banyak ulama yang meninggal semenjak ratusan tahun yang lalu tetapi ilmunya masih ada dan dimanfaatkan melalui kitab-kitab yang telah dikarangnya lalu dipakai dari generasi ke generasi sesudahnya dengan perantara para muridnya kemudian para pencari ilmu setelah mereka. Dan setiap kali kaum muslimin menyebutkan nama dia, mereka selalu mendoakan kebaikan dan mendoakan agar Allah merahmati dia.

Ini adalah fadhilah (keutamaan dan karunia) dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Berapa banyak generasi yang diselamatkan Allah dari kesesatan dengan jasa seorang ulama, maka ulama itu mendapatkan seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat.

3. Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia:

Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

"Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya".
(QS. An Najm [53]:39)

Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.
[HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih].

Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini.

Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an.

Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.

4. Apabila manusia, hewan atau burung memakan tanaman milik orang yang telah meninggal dunia:


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا إِلاَّ كَانَ مَا أُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا سُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ وَمَا أَكَلَتِ الطَّيْرُ فَهُوَ لَهُ صَدَقَةً وَلاَ يَرْزَؤُهُ أَحَدٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ

Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman, kecuali apa yang dimakan dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya (orang yang menanam). Dan apa yang dicuri dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Dan apa yang dimakan oleh binatang buas dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Dan apa yang dimakan oleh seekor burung dari tanaman tersebut merupakan sedekahnya. Dan tidaklah dikurangi atau diambil oleh seseorang dari tanaman tersebut kecuali merupakan sedekahnya.
(HR. Muslim).
 
Imam Nawawi berkata mengomentari hadits di atas, “Hadits ini menunjukkan keutamaan menanam dan mengelola tanah, dan bahwa pahala orang yang menanam tanaman itu mengalir terus selagi yang ditanam atau yang berasal darinya itu masih ada sampai hari kiamat.”


Hal ini berbeda dengan shodaqoh jariyah, karena tanaman itu tidak dimaksudkan (diniatkan) sebagai shodaqoh jariyah, akan tetapi hasil yang dimakan dari tanaman ter-sebut menjadi shodaqoh jariyah tanpa keinginan dari pemiliknya atau ahli warisnya.

5. Bersiaga di jalan Allah:

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِى كَانَ يَعْمَلُهُ وَأُجْرِىَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتَّانَ

Bersiaga di jalan Allah (menjaga jika musuh menyerang) sehari semalam lebih baik dari pada puasa dan mendirikan shalat satu bulan, dan apabila (orang yang bersiaga tersebut) meninggal dunia maka amalan yang sedang dia kerjakan tersebut (pahalanya terus) mengalir kepadanya, rezekinya terus disampaikan kepadanya dan dia terjaga dari ujian (kubur).”
(HR. Muslim).
6. Menggali kubur untuk mengubur seorang Muslim:

Dari Abu Rafi’ Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata,

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
Barangsiapa yang memandikan jenazah dan ia menyembunyikan cacat jenazah tersebut, niscaya dosanya diampuni sebanyak 40 dosa. Dan barangsiapa yang mengafani jenazah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya kain sutera yang halus dan tebal dari surga. Dan barang siapa yang menggali kuburan untuk jenazah dan dia memasukkannya ke dalam kuburan tersebut, maka dia akan diberi pahala seperti pahala membuatkan rumah, yang jenazah itu dia tempatkan (di dalamnya) sampai hari kiamat.
(HR. Al Baihaqi dan Al Hakim. Al Hakim berkata, “Hadits ini sesuai syarat Imam Muslim”, dan Imam Adz-Dzahabi menyetujuinya).
Sumber : http://alquran5.blogspot.com/2014/03/amalan-amalan-yang-bermanfaat-bagi.html

Selasa, 16 Desember 2014

Muhasabah - Dampak Positif

Muhasabah memiliki dampak positif dan manfaat yang luar biasa.

Antara lain:
  1. Mengetahui aib sendiri. Barangsiapa yang tidak memeriksa aib dirinya, maka ia tidak akan mungkin menghilangkannya.
  2. Dengan bermuhasabah, seseorang akan kritis pada dirinya dalam menunaikan hak Allah. Demikianlah keadaan kaum salaf, mereka mencela diri mereka dalam menunaikan hak Allah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Darda r.a. bahwa beliau berkata: "Seseorang itu tidak dikatakan faqih dengan sebenar-benarnya sampai ia menegur manusia dalam hal hak Allah, lalu ia gigih mengoreksi dirinya. Berkata Muhammad bin Wasi' rahimahullah dengan nada merendah diri, padahal beliau adalah seorang ahli ibadah: "Seandainya dosa berbau, tentu tidak ada yang betah duduk bersamaku". Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Mencela diri dalam Dzat Allah adalah termasuk sifat shiddiqin (orang-orang yang benar), seorang hamba akan dekat dengan Allah Ta'ala dalam sekejap, berlipat-lipat melebihi dekatnya melalui amalnya". Berkata Abu Bakar As-Shiddiq r.a.: "Barangsiapa yang mencela dirinya berkaitan dengan hak Allah (terhadap dirinya), maka Allah akan memberinya keamanan dari murka-Nya".
  3. Di antara buah dari muhasabah adalah membantu jiwa untuk muraqabah. Kalau ia bersungguh-sungguh melakukannya di masa hidupnya, maka ia akan beristirahat di masa kematiannya. Apabila ia mengekang dirinya dan menghisabnya sekarang, maka ia akan istirahat kelak di saat kedahsyatan hari penghisaban.
  4. Di antara buahnya adalah akan terbuka bagi seseorang pintu kehinaan dan ketundukan di hadapan Allah.
  5. Manfaat paling besar yang akan diperoleh adalah keberuntungan masuk dan menempati Surga Firdaus serta memandang Wajah Rabb Yang Mulia lagi Maha Suci. Sebaliknya jika ia menyia-nyiakannya maka ia akan merugi dan masuk ke neraka, serta terhalang dari (melihat) Allah dan terbakar dalam adzab yang pedih.
Tidak mengintrospeksi diri dan menyia-nyiakannya akan membawa kerugian yang besar. Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: "Yang paling berbahaya adalah sikap  tidak mengindahkan, tidak mau muhasabah, dan menggampangkan urusan, karena ini akan menyampaikan pada kebinasaan.

Demikianlah keadaan orang-orang yang tertipu, ia menutup matanya dari akibat (perbuatan) dan hanya mengandalkan ampunan, sehingga ia tidak mengintrospeksi dirinya dan memikirkan kesudahannya.

Jika ia melakukan hal ini, akan mudah baginya untuk terjerumus dalam dosa dan ia akan senang melakukannya, serta berat untuk meninggalkannya. Seandainya ia berakal, tentulah ia sadar bahwa mencegah itu lebih mudah ketimbang  berhenti dan meninggalkan kebiasaan.

Jika engkau selalu menuruti nafsu dalam setiap kelezatan, engkau akan lupa.Jika engkau senantiasa memenuhi seruan hawa nafsu, ia akan menyeretmu pada perbuatan buruk dan haram.

Maka bertakwalah pada Allah wahai hamba Allah, introspeksilah dirimu, karena baik dan selamatnya hati adalah dengan muhasabah, sebaliknya rusaknya adalah dengan sebab tidak mengindahkan dan bergelimang dalam kelezatan nafsu serta syahwat serta mengenyampingkan perkara yang bisa menyempurnakannya. Maka berhati-hatilah dari hal itu, niscaya diri kalian akan mulia dan berbahagia di saat berjumpa dengan Tuhan kalian (Allah).

Semoga shalawat dan salam tetap tercurah pada nabi kita Muhammad, keluarga dan para shahabatnya.
««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»
•[Muqaddimah]•
•[Instropeksi Diri]•
•[Macam Muhasabah]•

««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»

Muhasabah - Macamnya

Ketahuilah wahai hamba-hamba Allah, bahwa muhasabah itu ada berapa macam?

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: Muhasabah ada dua macam, sebelum beramal dan sesudahnya.

PERTAMA
Sebelum beramal, yaitu dengan berfikir sejenak ketika hendak berbuat sesuatu, dan jangan langsung mengerjakan sampai nyata baginya kemaslahatan untuk melakukan atau tidaknya. Al-Hasan berkata: "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berdiam sejenak ketika terdetik dalam fikirannya suatu hal, jika itu adalah amalan ketaatan pada Allah, maka ia melakukannya, sebaliknya jika bukan, maka ia tinggalkan".

KEDUA
Introspeksi diri setelah melakukan perbuatan, yaitu ada tiga jenis:
  • Mengintrospeksi ketaatan berkaitan dengan hak Allah yang belum sepenuhnya ia lakukan, lalu ia juga muhasabah, apakah ia sudah melakukan ketaatan pada Allah sebagaimana yang dikehendaki-Nya atau belum?
  • Introspeksi diri terhadap setiap perbuatan yang mana meninggalkannya adalah lebih baik dari melakukannya.
  • Introspeksi diri tentang perkara yang mubah atau sudah menjadi kebiasaan, mengapa mesti ia lakukan?
Apakah ia mengharapkan Wajah Allah dan negeri akherat? Sehingga (dengan demikian) ia akan beruntung, atau ia ingin dunia yang fana? Sehingga iapun merugi dan tidak mendapat keberuntungan.
««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»
•[Muqaddimah
•[Instropeksi Diri]•
•[Dampak Positif]•

««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»

Muhasabah - Instropeksi Diri

MUHASABAH
(Introspeksi Diri)

Wahai hamba-hamba Allah, aku mewasiatkan diriku dan anda untuk bertakwa pada Allah dan introspeksi diri. Karena dengan muhasabah, maka jiwa akan menjadi istiqamah, sempurna dan bahagia.

Allah Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
yaa ayyuhaa alladziina aamanuu ittaquu allaaha waltanzhur nafsun maa qaddamat lighadin waittaquu allaaha inna allaaha khabiirun bimaa ta'maluuna
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(QS. Al Hasyr [59]: 18)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya: "Firman Allah وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ , maksudnya introspeksilah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan perhatikan amalan sholeh yang telah kalian persiapkan untuk hari kemudian dan pertanggung jawaban di hadapan Allah.

Allah berfirman:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

wanafsin wamaa sawwaahaa, fa-alhamahaa fujuurahaa wataqwaahaa, qad aflaha man zakkaahaa, waqad khaaba man dassaahaa
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
(QS. Asy Syams [91]:7-10)

Imam Al-Badawy rahimahullah berkata dalam tafsirnya: "Al-Hasan berkata: Maknanya sungguh beruntunglah orang yang mensucikan, memperbaiki dan mengarahkan dirinya untuk taat pada Allah 'Azza Wa Jalla: قَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا , maksudnya, membinasakannya, menyesatkannya dan mengarahkannya pada perbuatan maksiat."

Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
"Orang yang pandai adalah orang yang mengintrospeksi dirinya dan beramal untuk setelah kematian, sedang orang yang lemah adalah orang yang jiwanya selalu tunduk pada nafsunya dan mengharap pada Allah dengan berbagai angan-angan."
(H.R Ahmad dan Tirmidzi)

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Kitab Az-Zuhd dari Umar bin Khattab bahwa beliau berkata:  "Perhitungkanlah diri kalian sebelum kalian diperhitungkan, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, karena itu lebih memudahkan penghisaban bagi kalian kelak,
berhiaslah untuk menghadapi hari perhitungan:
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَى مِنكُمْ خَافِيَ
yawma-idzin tu'radhuuna laa takhfaa minkum khaafiyatun
"Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah)."
(QS Al Haaqqah [69]:18)

Ibnul Qayyim rahimahullah meriwayatkan dari Al-Hasan bahwa beliau berkata: "Seorang mukmin itu pandai mengendalikan dirinya, selalu menghisab dirinya di hadapan Allah. Penghisaban di Hari Kiamat itu akan menjadi ringan bagi mereka yang selalu memperhitungkan selama di dunia. Sebaliknya, akan terasa berat bagi orang yang tidak pernah memperhitungkan dirinya".

Berkata Wahab sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah: "Dalam hikmah keluarga  Daud tertulis: "Sudah selayaknya bagi orang yang berakal agar tidak lalai dari empat waktu:
  • Saat bermunajat  pada Tuhannya,
  • Waktu mengintrospeksi diri,
  • Saat berkumpul bersama saudara (dan teman) yang memberitahukan tentang kekurangan dan keadaan dirinya, dan
  • Saat refreshing (santai) dengan melakukan sesuatu yang halal lagi menyenangkan.
Karena pada saat tersebut akan mempermudah baginya melakukan waktu-waktu di atas dan sekaligus menjadi penghibur hati.

Berkata Maimun bin Mahran: "Seorang hamba tidak akan meraih derajat takwa sampai ia menghisab dirinya melebihi seseorang pada patnernya. Karena itu dikatakan: "Jiwa itu ibarat shahabat yang suka berkhianat, jika engkau tidak mengawasinya, maka ia akan membawa lari hartanya".

Umar bin Khattab r.a. menulis (surat) pada beberapa pejabatnya: "Perhitungkanlah dirimu di waktu senang sebelum datang perhitungan yang berat. Barangsiapa yang menghisab dirinya di waktu senang sebelum perhitungan yang berat, maka ia akan ridha dan mendapat keberuntungan. Sebaliknya, siapa yang kehidupannya melalaikannya dan nafsunya menyibukkannya, maka ia akan menyesal dan mendapat kerugian"
(H.R Baihaqi dalam Al- Wahd dan Ibnu 'Asakir)

Ibnul Jauzi meriwayatkan dalam (Kitab) Dzammul Hawa dari As-Sulamy berkata: Aku mendengar Abul Husain Al-Farisy berkata: Aku mendengar Abu Muhammad Al-Hariri berkata: "Barangsiapa yang dikuasai oleh jiwanya, maka ia akan berada dalam tawanan syahwat dan terkurung dalam penjara hawa nafsu.

Allah mengharamkan bagi hatinya untuk mendapat kemanfaatan, sehingga ia tidak dapat merasakan keindahan firman-Nya meski ia banyak membacanya.

Berkata Syaikh Abdul Aziz As-Salman rahimahullah dalam kitabnya: Mawarid adz-Dzam-aan : "Jika ia sadar bahwa ia akan di tanya dalam perhitungan nanti tentang perkara sekecil biji sawi, di hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun, dimana di saat itu amat dibutuhkan berbagai kebaikan, dan ampunan dosa-dosa, maka nyatalah bahwa tidak akan selamat dari berbagai kesulitan kelak, melainkan dengan bergantung pada Allah, dan pertolongan-Nya untuk introspeksi diri, muraqabah, dan mengawasi jiwa dalam setiap gerak geriknya."

Maka barangsiapa yang menghisab dirinya sebelum di hisab, akan menjadi ringan perhitungan dirinya di Hari Kiamat, akan ada jawaban di saat ia mengahadapi pertanyaan, dan akhir kesudahannya adalah kebaikan.
  • Wahai jiwa, bersiaplah dengan perbekalan yang engkau mampu,
  • Wahai jiwa, sebelum (datangnya) kematian,  engkau tidak diciptakan dengan sia-sia,
  • Waspadalah dari terjatuh pada kehinaan dan merendah dirilah,
  • Pintu Allah, berapa banyak Dia Memberi petunjuk dan memaafkan,
  • Takutlah dengan berbagai gejolak kehidupan,
  • Sadarlah, jangan menjadi seperti  orang yang terjatuh dalam jurang kehinaan.
Berkata Ibnu Qudamah dalam Minhaj Al-Qashidin:
"Ketahuilah bahwa musuhmu yang paling berbahaya adalah jiwa yang berada dalam dirimu, ia memiliki nafsu ammarah bissuu', condong pada kejahatan. Engkau diperintahkan untuk meluruskan, membersihkan, dan memutusnya dari berbagai pengaruh negatif serta mengarahkannya dengan rantai kekuatan untuk beribadah pada Tuhannya. Jika engkau menyepelekannya, maka ia akan terlepas tanpa kendali dan engkau tidak mendapat keberuntungan setelah itu. Kalau engkau senantiasa mengingatkannya maka kami mengharapkan jiwa tersebut akan menjadi tenang. Karena itu jangan engkau lalai untuk mengingatkannya".
««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»
•[Muqaddimah]•
•[Macam Muhasabah]•
•[Dampak Positif]•

««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»

Muhasabah - Sampul

MUHASABAH
(Introspeksi diri)
( باللغة الإندونيسية )


Disusun Oleh:
Syaikh Shalih Al-'Ulyawi

Tarjamah:
Team Indonesia

Murajaah:
Abu Ziyad

محاسبة النفسإعداد:الشيخ صالح العليويترجمة:الفريق الإندونيسيمراجعة:إيكو أبو زياد

Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
المكتب التعاوني للدعوة وتوعية الجاليات بالربوة بمدينة الرياض
1428 – 2007
islamhouse.com

Muqaddimah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ


Segala puji bagi Allah yang menjanjikan bagi orang yang mengintrospeksi dan mengekang dirinya dengan rasa aman di hari yang dijanjikan. Aku memuji-Nya, (Dia) Yang Maha Suci, Yang memuliakan wali-wali-Nya, dan menganugrahkan tambahan pada mereka di hari (itu). Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, beliau adalah sebaik-baik penyeru ke jalan dan petunjuk yang lurus, Semoga shalawat, keberkahan dan salam tetap terlimpah pada beliau, keluarga serta para shahabat yang mereka adalah suri tauladan bagi manusia dalam muhasabah. Dengan memperingatkan dari hari yang amat hebat kegocangannnya. Begitupula para tabi'in yang mengikuti mereka dengan kebaikan hingga hari yang tidak mungkin menghindar darinya.

««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»
•[Instropeksi Diri]•
•[Macam Muhasabah]•
•[Dampak Positif]•

««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»

Sabtu, 13 Desember 2014

Imam Masjidil Haram

Indonesia pernah memiliki seorang ulama ternama di jazirah Arab. Ia menjadi imam di Masjidil Haram, mengajar di Haramain, menulis buku yang tersebar di Timur Tengah. Dialah  Syaikh Nawawi Al Bantani. Namanya sangat terkenal di Saudi hingga dijuluki “Sayyidul Hijaz”,  yakni ulama di kawasan Hijaz. Kefakihannya dalam agama pun membuatnya dijuluki Nawawi kedua, maksudnya penerus ulama dunia terkenal, Imam Nawawi.

Nama dan gelar lengkap beliau, yakni Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani (bahasa Arab: محمد نووي الجاوي البنتني, lahir di Tanara, Serang, 1813 - meninggal di Mekkah, 1897) adalah seorang ulama Indonesia yang terkenal. Ia bergelar al-Bantani karena ia berasal dari Banten, Indonesia. Ia adalah seorang ulama dan intelektual yang sangat produktif menulis kitab, yang meliputi bidang-bidang fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir, dan hadis. Jumlah karyanya mencapai tidak kurang dari 115 kitab.

Kelahiran
1230-1314 H / 1815- 1897 M Lahir dengan nama Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di Kampung Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Sekarang di Kampung Pesisir, desa Pedaleman Kecamatan Tanara depan Mesjid Jami’ Syaikh Nawawi Bantani) pada tahun 1230 H atau 1815 M ini bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati, Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten.

Nasab beliau melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas, yang makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas kediaman beliau di Tanara, nasab Ahlul Bait sampai ke Syaikh Nawawi. Ayah beliau seorang Ulama Banten, ‘Umar bin ‘Arabi, ibunya bernama Zubaedah.

Pendidikan
Semenjak kecil beliau memang terkenal cerdas. Otaknya dengan mudah menyerap pelajaran yang telah diberikan ayahnya sejak umur 5 tahun. Pertanyaanpertanyaan kritisnya sering membuat ayahnya bingung. Melihat potensi yang begitu besar pada putranya, pada usia 8 tahun sang ayah mengirimkannya keberbagai pesantren di Jawa.

Beliau mula-mula mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, kemudian berguru kapada Kyai Sahal, Banten; setelah itu mengaji kepada Kyai Yusuf, Purwakarta.[1]

Di usia beliau yang belum lagi mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang. Sampai kemudian karena karamahnya yang telah mengkilap sebelia itu, beliau mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak.

Pada usia 15 tahun beliau menunaikan haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekah, seperti Syaikh Khâtib al-Sambasi, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamîd Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al-Betawi.

Tapi guru yang paling berpengaruh adalah Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al-Betawi dan Syaikh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di Mekah. Lewat ketiga Syaikh inilah karakter beliau terbentuk.

Selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama besar di Medinah.

Nasionalisme
Tiga tahun bermukim di Mekah, beliau pulang ke Banten. Sampai di tanah air beliau menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat.

Tak ayal, gelora jihadpun berkobar. Beliau keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya. Beliau dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830 M).

Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa boleh buat Syaikh Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri Mekah, tepat ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama Besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia.

Begitulah pengakuan Snouck Hourgronje. Begitu sampai di Mekah beliau segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. Beliau tekun belajar selama 30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 M. Ketika itu memang beliau berketepatan hati untuk mukim di tanah suci, satu dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah Belanda.

Nama beliau mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib ‘Ali, Mekah. Beliau mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tapi makin lama makin jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Maka jadilah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.

Nama beliau semakin melejit ketika beliau ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khâtib al-Minagkabawi. Sejak itulah beliau dikenal dengan nama resmi Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.’ Artinya Nawawi dari Banten, Jawa.

Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama. Tidak hanya di kota Mekah dan Medinah saja beliau dikenal, bahkan di negeri Mesir nama beliau masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.[2]

Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah. Di sanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal, Belandapun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui beliau.

Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama ‘Abdul Ghafûr-bertanya:
“Mengapa beliau tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?”.

Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”.

Lalu kata Snouck lagi:
”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?”.

Syaikh Nawawi menjawab :
“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa".

Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan. Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa.

Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, misalnya K.H. Hasyim Asyari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tb. Bakrie Purwakarta, K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.

Konon, K.H. Hasyim Asyari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika membaca kitab fiqih Fath al-Qarîb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asyari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.

Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Sang istri wafat mendahului beliau.[3]

Pemikiran
Syekh Nawawi sering kali menyatakan diri sebagai penganut paham Asy'ariyyah dan Maturidiyyah, sebuah paham yang dilahirkan Abu Hasan Al Asyari dan Abu Manshur Al Maturidi. Keduanya merupakan kelompok yang memfokuskan diri pada pembelajaran sifat-sifat Allah. Dari Syekh Nawawi, paham tersebut pun kemudian tersebar di nusantara.

Adapun dalam mazhab fikih, syekh Nawawi memilih mengikuti Imam Syafi'i. Hal ini terlihat dari karya-karyanya dalam ilmu fikih. Syekh Nawawi juga mempelajari ilmu tasawuf dan mengajarkannya. Ia bahkan menulis sebuah karya yang menjadi rujukan utama seorang sufi. Imam Al Ghazali juga banyak memengaruhi pemikiran Syekh Nawawi.

Gelar-Gelar
Berkat kepakarannya, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan.

Kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut Saudi Arabia.

Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.

Karya-Karya
Kepakaran beliau tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syaikh 'Umar 'Abdul Jabbâr dalam kitabnya "al-Durûs min Mâdhi al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Harâm” (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syaikh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih, meliputi berbagai disiplin ilmu.

Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik. Sebagian dari karya-karya Syaikh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:
  1. al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
  2. al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
  3. Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
  4. Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
  5. al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
  6. Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
  7. Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
  8. Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
  9. Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
  10. Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
  11. al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
  12. Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
  13. Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
  14. Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
  15. Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
  16. Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
  17. Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
  18. Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
  19. Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
  20. Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
  21. Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
  22. Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
  23. Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
  24. al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
  25. ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
  26. Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
  27. Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
  28. al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
  29. Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
  30. Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
  31. al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
  32. al-Riyâdl al-Fauliyyah
  33. Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
  34. Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
  35. al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
  36. Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
  37. al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
  38. Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.[4]
Karya tafsirnya, al-Munîr, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain, karya Imâm Jalâluddîn al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang sangat terkenal itu.

Sementara Kâsyifah al-Sajâ syarah merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin Sumeir al-Hadhramy. Para pakar menyebut karya beliau lebih praktis ketimbang muatan yang dikomentarinya.

Karya-karya beliau di bidang Ilmu Akidah misalnya Tîjân al-Darâry, Nûr al-Dhalam, Fath al-Majîd. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya beliau di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munâjah, Niĥâyah al-Zain, Kâsyifah al-Sajâ. Adapun Qâmi’u al-Thugyân, Nashâih al-‘Ibâd dan Minhâj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf. Ada lagi sebuah kitab fiqih karya beliau yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa, yaitu Syarah ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain.

Hampir semua pesantren memasukkan kitab ini dalam daftar paket bacaan wajib, terutama di Bulan Ramadhan. Isinya tentang segala persoalan keluarga yang ditulis secara detail. Hubungan antara suami dan istri dijelaskan secara rinci. Kitab yang sangat terkenal ini menjadi rujukan selama hampir seabad.

Tapi kini, seabad kemudian kitab tersebut dikritik dan digugat, terutama oleh kalangan muslimah. Mereka menilai kandungan kitab tersebut sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan masa kini. Tradisi syarah atau komentar bahkan kritik mengkritik terhadap karya beliau, tentulah tidak mengurangi kualitas kepakaran dan intelektual beliau.[5]

Karamah

Konon, pada suatu waktu pernah beliau mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau sebagai lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni rumah-rumahan di punggung unta, yang beliau diami, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya yang untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang.

Karamah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Sayyid Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi (sekarang ibukota Jakarta),[6] itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri.

Tak ayal , saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân. Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat.“
  
“Lihatlah Sayyid!, itulah Ka΄bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka΄bah". Ujar Syaikh Nawawi remaja.”

Sayyid Utsmân termangu. Ka΄bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari, remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun beliau berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.[7]

Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti.

Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi.

Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh.

Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.

Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil.

Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la, Mekah.

Demikianlah karamah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di dalamnya sedikitpun tidak merusak jasad beliau. Kasih sayang Allah Ta’ala berlimpah pada beliau.

Karamah Syaikh Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat kita membuka lembar demi lembar Tafsîr Munîr yang beliau karang. Kitab Tafsir fenomenal ini menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami Firman Allah swt. Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Kâsyifah al-Sajâ, yang menerangkan syariat. Begitu pula ratusan hikmah di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangan beliau.[8]

Wafat
Masa selama 69 tahun mengabdikan dirinya sebagai guru Umat Islam telah memberikan pandangan-pandangan cemerlang atas berbagai masalah umat Islam. Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 syawal 1314 H/ 1897 M. Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M. Makamnya terletak di pekuburan Ma'la di Mekah. Makam beliau bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.[9]

Referensi
    1. ^ Nurul Huda, Sekilas tentang: Kiai Muhammad Nawawi al-Bantani, Alkisah, No.4, 14 September 2003 M, h. 2.
    2. ^ Salmah, dkk, Perjalanan 3 Wanita, (Jakarta: Trans TV, pukul 06:30-07:00), Selasa, 10 Juli 2007 M.
    3. ^ Kisah Wali, Alkisah, No.3, 02-15 februari 2004 M, h. 100.
    4. ^ Kiai Muhammad Syafi’i Hadzami, Majmu’ah Tsalâtsa Kutub Mufîdah, (Jakarta, Maktabah al- Arba’in, 2006 M/1427 H), h. J.
    5. ^ Nurul Huda, Sekilas tentang, h. 7.
    6. ^ Habib ‘Utsman bin ‘Aqil bin ‘Umar bin Yahya dilahirkan di Pekojan, Jakarta pada tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1238 H/ 1822 M. Ibunya bernama Aminah binti Syaikh ‘Abdurrahman bin Ahmad al-Mishri, putri seorang ulama dari Mesir. Habib ‘Utsman bermukim di Makkah selama 7 tahun. Guru-guru beliau di antaranya ayahnya sendiri, Habib ‘Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya dan seorang Mufti Syafi’iyyah di Makkah, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Pada tahun 1848 beliau berangkat ke Hadramaut menuntut ilmu kepada sayyid ‘Alwi bin Saggaf al-Jufri dan Sayyid Hasan bin Shaleh al-Bahr. Dari Hadramaut berangkat lagi ke Mesir dan belajar di Kairo selama 8 bulan. Perjalanan menuntut ilmu dilanjutkan lagi ke Tunis, Aljazair, Istanbul, Persia dan Syria. Setelah itu beliau kembali lagi ke Hadramaut. Habib ‘Utsman adalah pengarang kitab yang sangat produktif. Hal ini dikemukakan oleh L.W.C Van Den Berg (1845-1927) di dalam bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Hadramaut dan koloni Arab di Indonesia (1989). Ia telah mencatat bahwa Habib ‘Utsman memiliki 38 karya, 11 buah karyanya ditulis dalam Bahasa Arab, sedang sisanya disusun dalam Bahasa Melayu. Buku tersebut diterbitkan di Betawi pada tahun 1886 M, ketika itu Habib ‘Utsman masih hidup dan masih terus menghasilkan karya-karyanya. Beliau pada tahun 1862 M/ 1279 H selepas dari hadramaut pulang ke Betawi dan menetap di Pekojan. Kemudian diangkat menjadi Mufti Betawi menggantikan Syaikh Abdul Ghani. Hingga wafat pada tahun 1331 H/ 1913 M. “Sekilas tentan Habib ‘Utsman”, Alkisah, No. 3, 02-15 februari 2004 M, h. 108.
    7. ^ Kisah Wali, Alkisah, h. 103.
    8. ^ Syekh Nawawi Bantani: Mulianya jasad sang wali, Alkisah, No. 3, 02-15 Februari 2004 M, h. 105.
    9. ^ Nurul Huda, Sekilas tentang, h. 5.
    Link Terkait
    ««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»
    •[Qothrul Ghoyts]•
    •[Riyadhus Shalihin]•
    •[Tujuh Macam Nafsu]•

    ««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»
    Sumber:
    http://id.wikipedia.org/wiki/Nawawi_al-Bantani
    http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/07/23/mqdrwi-kisah-ulama-asal-banten-yang-menjadi-imam-masjidil-haram

    Tujuh Macam Nafsu.

    Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani dalam kitabnya QOTHRUL GHOYTS membagi nafsu dalam tujuh tingkatan yang dikenal dengan istilah marotibun-nafsi. Tempat-tempat dimana nafsu ini bersemayam dalam dunia sufi biasa dinamakan sebagai lathifah, yaitu sebuah titik halus dalam diri kita yang keberadaannya tersebar.

    Berikut penjelasan beliau tentang nafsu, tempat dan tentara-tentaranya:

    PERTAMA
    Nafsu Ammaaroh
    Nafsu ammaroh tempatnya adalah ash-shodru, artinya dada. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut:
    • Al-Bukhlu, artinya kikir atau pelit
    • Al-Hirsh, artinya tamak atau rakus
    • Al-Hasad, artinya hasud
    • Al-Jahl, artinya bodoh
    • Al-Kibr, artinya sombong
    • Asy-Syahwat, artinya keinginan duniawi
    KE·DUA
    Nafsu Lawwamah
    Nafsu lawwamah tempatnya adalah al-qolbu, artinya hati, tepatnya dua jari di bawah susu kiri. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut:
    • Al-Laum, artinya mencela
    • Al-Hawa, artinya bersenang-senang
    • Al-Makr, artinya menipu
    • Al-’Ujb, artinya bangga diri
    • Al-Ghibah, artinya mengumpat
    • Ar-Riya’, artinya pamer amal
    • Az-Zhulm, artinya zalim
    • Al-Kidzb, artinya dusta
    • Al-ghoflah, artinya lupa
    KE·TIGA
    Nafsu Mulhimah
    Nafsu mulhimah tempatnya adalah Ar-ruh, tepatnya dua jari di bawah susu kanan. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut:
    • As-Sakhowah, artinya murah hati
    • Al-Qona’ah, artinya merasa cukup
    • Al-Hilm, artinya murah hati
    • At-Tawadhu’, artinya rendah hati
    • At-Taubat, artinya taubat atau kembali kepada Allah
    • As-Shobr, artinya sabar
    • At-Tahammul, artinya bertanggung jawab
    KE·EMPAT
    Nafsu Muthmainnah
    Nafsu muthmainnah tempatnya adalah As-Sirr, artinya rahasia, tepatnya dua jari dari samping susu kiri ke arah dada. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut:
    • Al-Juud, artinya dermawan
    • At-Tawakkul, artinya berserah diri
    • Al-Ibadah, artinya ibadah
    • Asy-Syukr, artinya syukur atau berterima kasih
    • Ar-Ridho, artinya rido
    • Al-Khosyah, artinya takut akan melanggar larangan
    KE·LIMA
    Nafsu Rodhiyah
    Nafsu rhodiyah tempatnya adalah Sirr Assirr, artinya sangat rahasia, tepatnya di jantung yang berfungsi menggerakkan seluruh tubuh. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut:
    • Al-Karom, artinya karomah
    • Az-Zuhd, artinya zuhud atau meninggalkan keduniawian
    • Al-Ikhlas, artinya ikhlas atau tanpa pamrih
    • Al-Waro’, artinya meninggalkan syubhat
    • Ar-Riyadhoh, artinya latihan diri
    • Al-Wafa’, artinya tepat janji
    KE·ENAM
    Nafsu Mardhiyah
    Nafsu mardhiyah tempatnya adalah Al-khofiy, artinya samar, tepatnya dua jari dari samping susu kanan ke tengah dada. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut:
    • Husnul Khuluq, artinya baik akhlak
    • Tarku maa siwalloh, artinya meninggalkan selain Alloh
    • Al-Luthfu bil kholqi, artinya lembut kepada makhluk
    • Hamluhum ‘ala sholah, artinya mengurus makhluk pada kebaikan
    • Shofhu ‘an dzunubihim, artinya mema’afkan kesalahan makhluk
    • Al-Mail ilaihim liikhrojihim min dzulumati thoba’ihim wa anfusihim ila anwari arwahihim, artinya mencintai makhluk dan cenderung perhatian kepada mereka guna mengeluarkannya dari kegelapan (keburukan) watak dan jiwa-jiwanya ke arah bercahayanya ruh-ruh mereka.
    KE·TUJUH
    Nafsu Kamilah
    Nafsu kamilah tempatnya adalah Al-Akhfa, artinya sangat samar, tepatnya di tengah-tengah dada. Adapun pasukan-pasukannya sebagai berikut:
    • Ilmul-yaqiin
    • Ainul-yaqiin
    • Haqqul-yaqiin
    Dan tidak ada jalan yang terbaik untuk membersihkan segenap nafsu ini selain dzikir. Oleh karena itu, para ulama thoriqoh mengajarkan metode dzikir terutama dzikir nafi itsbat (laa ilaaha illallah), yang tekniknya mengatur aliran dzikir ke seluruh lathifah-lathifah.

    “ILAAAHIIII….ANTA MAQSHUUDII WA RIDHOOKA MATHLUUBII…A’THINII MAHABBATAKA WA MA’RIFATAK”

    Link Terkait
    ««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»
    •[Imam Masjidil Haram]•
    •[Qothrul Ghoyts]•
    •[Riyadhus Shalihin]•
    ««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»
    Sumber:
    http://fakhrualbantani.blogspot.com/2012/02/7-tujuh-macam-nafsu.html

    Jumat, 12 Desember 2014

    Berdzikir dengan “Tasbih” Bolehkah?


    Oleh. Ust. Abu Ibrohim Muhammad Ali AM.


    Muqoddimah


    Kebanyakan orang di tempat kita menganggap bahwa termasuk ciri khas seorang muslim yang taat kepada Allah adalah selalu berdzikir dengan biji tasbih di tangan.

    Gambaran ini semakin kuat dengan gambar tokoh-tokoh yang dianggap berjasa bagi Islam tampil dengan busana muslim lengkap dengan tasbihnya yang sengaja dibuat dan dijual untuk keuntungan duniawi seperti gambar-gambar wali songo dan lainnya, ditambah lagi tayangan sinetron religi yang sarat dengan kebatilan, apabila menampilkan tokoh agama, hampir dipastikan ada biji tasbih di tangannya.


    Dzikir dengan Tasbih


    Ada di antara mereka yang selalu terlihat menjalankan tasbih di tangannya walaupun sedang mengobrol dengan rekannya, padahal terkadang pembicaraannya bertolak belakang dengan dzikir.


    Yang lebih merasa kurang puas, ada yang menggantungkan tasbihnya di leher walaupun mulutnya tidak terlihat berdzikir, tetapi—anehnya—orang menganggap dia selalu berdzikir (mengingat Allah). Sebagian lagi meyakini bahwa biji tasbih yang digantungkan di leher adalah ciri khas para malaikat yang sedang berdzikir.

    Ada pula yang mengatakan bahwa termasuk peninggalan (warisan) Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah biji tasbih. Ada lagi yang menjadikannya sebagai sarana pengobatan alternatif, dan masih banyak tujuan lain digunakannya biji tasbih ini dan tidak mungkin kami sampaikan semuanya. Hal-hal di atas terjadi tidak lain karena makin jauhnya kaum muslimin dari agamanya.

    Oleh karena itu, para ulama yang cemburu akan agamanya segera bangkit menjelaskan hakikat biji tasbih ini. Mereka menulis tentang asal-usul dan hukum tasbih dalam agama Islam yang mulia ini (1) . Dan tulisan ini sekadar menyadur dari tulisan mereka. Mudah-mudahan Alloh melapangkan hati kita untuk menerima setiap kebenaran.


    Sekilas Tentang Tasbih


    Berdzikir menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujung jari adalah petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling sempurna. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberikan petunjuk dengan cara yang paling mudah yang dapat dilakukan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.

    Demikianlah yang diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, dan awal generasi yang setelah mereka. Lalu orang-orang yang datang setelah mereka beranggapan bahwa berdzikir hanya sebanyak hitungan ruas-ruas jari tidak cukup. Berdzikir dalam jumlah yang banyak tidak dapat dilakukan melainkan harus dihitung dengan sesuatu seperti batu kerikil atau biji-bijian, menurut mereka.


    Tidak ada satu pun hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih tentang berdzikir dengan batu kerikil atau biji-bijian.

    Yang ada hanyalah riwayat-riwayat hadits yang dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu). Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid Rohimahulloh menjelaskan(2) bahwa biji tasbih tidak dikenal dalam agama Islam. Ia hanya perkara baru dalam agama (Islam).

    Biji tasbih adalah alat bantu ibadahnya orang Buddha dan menjadi ciri khusus agama mereka saat itu. Lalu biji tasbih dipakai orang Hindu di India oleh sekte wisnu atau siwa, kemudian juga dipakai oleh orang-orang Nasrani khususnya para pendeta dan rahib-rahibnya, setelah itu berkembang ke sebelah barat Asia.

    Agama Buddha terpecah menjadi dua aqidah (keyakinan): Mahayana dan Hinayana. Mahayana tersebar di sebagian besar Asia utara seperti Nepal, Tibet, Cina, Jepang, Mongol, Korea, dan lainnya. Sedangkan Hinayana banyak tersebar di Asia Selatan seperti India bagian selatan, Bangladesh, Burma (Myanmar), dan lainnya. Tatkala agama Nasrani muncul, barulah para pendetanya menggunakan biji tasbih ini untuk ibadah mereka.

    Adapun kaum muslimin maka tidak mengenal biji tasbih ini, kecuali orang-orang muslim yang tidak mengetahui asal usulnya mengambil cara agama lain untuk ibadah mereka.


    Sendainya hadits-hadits tersebut dianggap sah(3) , justru yang lebih tampak dari kisah-kisah itu menunjukkan bahwa Rosululloh mengingkari kerikil dan biji-biji tasbih yang digunakan untuk berdzikir dan beliau memberi petunjuk yang lebih afdhol, lebih bagus, lebih sempurna, dan lebih mudah. Dan perkataan “lebih afdhol” atau “lebih bagus” bukan berarti kerikil atau biji tasbih dibolehkan, tetapi justru selain ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya hukumnya dilarang, sebagaimana firman Alloh:

    (…. آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿٥٩

    …. Apakah Alloh yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?
    (QS. an-Naml [27]: 59)


    Ayat di atas menunjukkan bahwa Alloh itu lebih bagus daripada sekutu-sekutu selain-Nya, dan bukan berarti sekutu-sekutu itu juga bagus dan dibolehkan (untuk disembah).
    (Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 11)


    Makna Tasbih


    “Biji tasbih” dalam bahasa Arab biasa disebut dengan istilah السُّبْحَةَ , atau مِسْبَحَةٌ , atau مَسَابِيْحُ , atau تَسَابِيْحُ , tetapi pemakaian makna ini hanya menurut kebiasaan yang berjalan saja (4).


    Adapun kata السُّبْحَةَ atau التَّسْبِيْحُ dalam hadits-hadits yang shohih maknanya bukan biji tasbih melainkan sholat sunnah, sebagaimana dalam hadits Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma bahwa ayahnya mengabarinya:

    أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ  صَلَّى السُّبْحَةَ بِاللَّيْلِ فِى السَّفَرِ عَلَى ظَهْرِ  رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ

    Bahwa beliau pernah melihat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sholat sunnah pada malam hari ketika sedang safar di atas kendaraan menghadap ke arah perjalanannya.
    (HR. al-Bukhori: 1104)


    Dzikir Ada Dua Macam


    Berdzikir adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat diperintahkan. Dzikir terbagi menjadi dua macam:


    1. Dzikir secara mutlak, yaitu dzikir yang diperintahkan tanpa ada ikatan waktu, tempat, atau jumlah tertentu, maka dzikir semacam ini tidak boleh (5)dilakukan dengan menentukan jumlah-jumlah yang dikhususkan seperti seribu kali dan semisalnya.

    Dzikir semacam ini sebagaimana dalam firman-Nya:

    (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١

    Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Alloh, dzikir yang sebanyak-banyaknya.
    (QS. al-Ahzab [33]: 41)


    Membatasi suatu ibadah yang tidak dibatasi oleh Alloh adalah menambah syari’at Alloh. Alloh tidak mengikat dengan jumlah tertentu dalam dzikir jenis ini merupakan kemurahan dan kemudahan dari Alloh. Setiap hamba-Nya bebas berdzikir sesuai dengan kemampuannya tidak terikat dengan jumlah dzikir tertentu (6).


    2. Dzikir muqoyyad, yaitu dzikir-dzikir yang dianjurkan supaya dilakukan dengan hitungan tertentu seperti ucapan Subhanalloh 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allohu Akbar 33 kali, dan hitungan paling banyak yang pernah dianjurkan oleh Nabi adalah 100 kali, sebagaimana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

    مَنْ قَالَ “سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ” فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ


    “Barang siapa mengucapkan Subhanallohi wabihamdihi setiap hari seratus kali, maka dihapus dosa-dosanya walaupun sebanyak buih di lautan.”
    (HR. al-Bukhori: 6042 dan Muslim: 2691)


    Berdzikir Disyari’atkan untuk Menggunakan Ruas-Ruas Jari atau Ujung-Ujungnya


    Adapun yang disyari’atkan dalam dzikir muqoyyad adalah dengan menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujungnya, sebagaimana perintah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada para istri dan kaum wanita dari kalangan sahabatnya. Beliau bersabda:

    وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.

    “Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).”
    (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan oleh an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)


    Makna اْلأَنَامِلُ

    Adapun tentang maknaالأَنَامِلُ Qotadah berkata bahwa maksudnya adalah ujung-ujung jari. Sedangkan Ibnu Mas’ud, as-Suddiy, dan Robi’ bin Anas berkata, الأَنَامِلُ adalah jari-jemari itu sendiri
    (Tafsir al-Qur‘anil Azhim kar. Ibnu Katsir 2/108).


    Ibnu Manzhur (Lisanul Arab 14/295) mengatakan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari yang paling atas yang ada kukunya.


    Dalam al-Qomush al-Muhith: 2/955 disebutkan bahwaالأَنَامِلُ adalah ruas-ruas jari atau sendi-sendinya. Dari keterangan di atas jelas bahwa berdzikir disyari’atkan dengan ujung-ujung jari atau ruas-ruas jari.

    Dan inilah cara yang paling mudah sesuai dengan Islam yang penuh dengan kemudahan, sehingga kaum muslimin dari semua kalangan dapat melakukannya tanpa menggunakan alat bantu seperti kerikil, biji-bijian, butiran-butiran tanah liat, atau alat penghitung modern, dan semisalnya.

    Sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam


    Mengingkari Biji Tasbih


    Para sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka selalu melakukan yang terbaik buat diri dan agama mereka.


    Oleh karena itu, tatkala menjumpai satu penyimpangan dalam bentuk ibadah mereka segera mengingkarinya. Dalam sebuah hadits Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu menjumpai kaum muslimin berkumpul di masjid menjadi beberapa halaqoh berdzikir dengan biji tasbih, lalu masing-masing ketua halaqoh itu menyuruh anggotanya supaya bertakbir 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka disuruh bertahlil 100 kali, maka mereka lakukan, lalu mereka disuruh bertasbih 100 kali, maka mereka lakukan. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dan tidak menerima alasan mereka walaupun niat mereka baik dan sekadar menggunakan biji tasbih untuk menghitung dzikir mereka, Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘anhu berkata:

    وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ، أَوْ مُفْتَتِحُوْا بَابَ ضَلاَلَةٍ؟! قَالُوْا: وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ! مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ، قَالَ: وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ

    “Demi Zat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian ini sedang berada di atas agama yang lebih bagus daripada agamanya Muhammad, atau (kalau tidak) maka kalian ini sedang membuka pintu kesesatan.” Mereka berkata: “Wahai Abu Abdirrohman (Ibnu Mas’ud), yang kami inginkan hanyalah kebaikan.” Ibnu Mas’ud berkata: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.”
    (HR. ad-Darimi, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah: 2005)


    Hadits-Hadits Tentang Biji Tasbih Tidak Sah

    Ada beberapa hadits yang dijadikan sandaran bagi mereka yang membolehkan penggunaan biji tasbih dalam berdzikir, akan tetapi semuanya tidak lepas dari kelemahan bahkan kepalsuan sehingga semuanya tidak bisa dijadikan hujjah, di antaranya;


    1. Hadits palsu yang disandarkan pada Ali bin Abi Tholib Rodhiyallohu ‘anhu:

    نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السَّبْحَةُ وَإِنَّ أَفْضْلَ مَا يُسْجَدُ عَلَيْهِ اْلأَرْضُ وَمَا أَنْبَتَتْهُ الْأَرْضُ

    “Sebaik-baik pengingat adalah biji tasbih, dan seutama-utama tempat yang dipakai sujud adalah bumi dan yang ditumbuhkan oleh bumi.”


    Takhrij hadits:

    Hadits di atas dikeluarkan oleh ad-Dailami dalam Mukhtashor Musnad al-Firdaus: 4/98, as-Suyuthi dalam al-Minhah Fis Subhah: 2/141 dari al-Hawi, dan dinukil oleh asy-Syaukani dalam Nailul Author: 2/166-167.


    Keterangan:
    Hadits di atas adalah MAUDHU’/PALSU (7), dikarenakan beberapa sebab:


    Sanad (jalur periwayatan) hadits ini kebanyakan rowi (periwayat)nya adalah majhul (tidak dikenal), bahkan sebagian mereka tertuduh dusta dalam meriwayatkan hadits. (Di antara rowinya) Umul Hasan binti Ja’far bin al-Hasan, dia tidak dikenal biografinya.


    Abdush Shomad bin Musa al-Hasyimi dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal, menukil perkataan al-Khothib al-Baghdadi (14/41), beliau mengatakan: “Para ulama (pakar hadits) telah melemahkannya.”


    Hadits ini secara makna juga batil karena beberapa perkara (8):


    a. Biji tasbih termasuk perkara baru, tidak pernah digunakan pada zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Munculnya biji tasbih ini setelah wafatnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ahli bahasa Arab yang mengatakan:
    إِنَّ لَفْظَةَ السَّبْحَةِ مُوَلَّدَةٌ لاَ تَعْرِفُهَا الْعَرَبُ

    “Sesungguhnya kata subhah (biji tasbih) adalah istilah baru yang tidak dikenal oleh orang Arab).”


    b. Hadits di atas menyelisihi petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir. Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma berkata: “Aku melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan tangan kanannya.”
    (HR. Abu Dawud: 1/235, at-Tirmidzi: 4/255, Ibnu Hibban: 2334, al-Hakim: 1/547, al-Baihaqi: 2/253, dishohihkan al-Albani dalam Shohih Abu Dawud: 1346)


    Demikian pula bertentangan dengan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang shohih dalam berdzikir, beliau bersabda:

    وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.

    “Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).”
    (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)


    2. Hadits palsu yang disandarkan pada Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu:

    كَانَ النَّبِيُّ  يُسَبِّحُ بِالْحَصَى

    “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih dengan kerikil.”


    Takhrij hadits:
    Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Qosim al-Jurjani dalam Tarikh-nya: 68, dari jalan Sholih bin Ali an-Naufali, menceritakan kepadanya Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami, menceritakan kepadanya Ibnul Mubarok dari Sufyan ats-Tsauri dari Samiy, dari Abu Sholih dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu terangkat (sampai) kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.


    Keterangan (9):

    Hadits di atas MAUDHU’/PALSU karena Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami tertuduh dusta.

    Imam adz-Dzahabi—dalam Mizanul I’tidal—berkata: “Dia (al-Qudami) adalah salah satu rowi lemah, demikian dalam al-Lisan dikatakan bahwa Ibnu Adi dan ad-Daruquthni melemahkannya.” Ibnu Hibban berkata: “Dia membalik hadits-hadits. Barangkali (kira-kira) dia telah membalik riwayat Imam Malik lebih dari 150 hadits. Dia juga meriwayatkan dari Ibrahim bin Sa’ad satu kitab yang kebanyakan (hadits)nya terbalik.” Imam al-Hakim dan an-Naqqosy berkata: “Dia juga meriwayatkan hadits dari Malik banyak hadits yang palsu.” Abu Nu’aim berkata: “Dia meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar.”


    3. Hadits Shofiyah bintu Huyay istri Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam (10), beliau berkata:

    :دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللَّهِ  وَ بَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آَلاَفِ نُوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهِنَّ، فَقَالَ: يَا بِنْتَ حُيَيْ، مَا هَذَا؟ قُلْتُ

    أُسَبِّحُ بِهِنَّ، قَالَ: قَدْ  سَبَّحْتُ مُنْذُ قُمْتُ عَلَى رَأْسِكَ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا، قُلْتُ: عَلِّمْنِي يَا رَسُوْلَ اللَّهِ. قَالَ: قُوْلِي: سُبْحَانَ اللَّهِ  عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ

    “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke (rumah) saya sedangkan di hadapanku ada 4.000 biji kurma yang kugunakan untuk bertasbih. Lalu beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: ‘Wahai Bintu Huyay, apa ini?’ Aku menjawab: ‘(Biji kurma) ini kupakai untuk bertasbih.’ Lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Sungguh aku telah bertasbih lebih banyak sejak aku beranjak dari sisi kepalamu daripada (tasbihmu) ini.’ Aku berkata: ‘Ajari aku (yang lebih banyak dari ini) ya Rosululloh!’ Beliau bersabda: ‘Ucapkan

    سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ

    (Aku bertasbih sebanyak apa yang Alloh ciptakan dari segala sesuatu apa pun).’”


    Takhrij hadits:
    Hadits di atas dikeluarkan oleh at-Tirmidzi: 4/274, Abu Bakar asy-Syafi’i dalam al-Fawa‘id: 37/255/1, al-Hakim: 1/547, dari jalan Hasyim bin Sa’id dari Kinanah maula Shofiyah dari Shofiyah.


    Keterangan:
    Hadits ini DHO’IF/LEMAH (11), didho’ifkan oleh at-Tirmidzi, beliau mengatakan: “Hadits ini ghorib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalannya Hasyim bin Sa’id al-Kufi dan sanad beliau tidak dikenal.” Ibnu Ma’in berkata tentang Hasyim al-Kufi: “Dia tidak ada apa-apanya.” Ibnu Adiy berkata: “Apa yang diriwayatkan tidak dapat dikuatkan dengan yang lain.” Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dia adalah dho’if (lemah).”


    Demikian juga salah satu rowi hadits ini bernama Kinanah, dia rowi yang majhul (tidak dikenal), tidak ada yang menyatakan dia terpercaya kecuali Ibnu Hibban.

    Akan tetapi, terdapat penguat lain meriwayatkan dari Kinanah seperti Zuhair, Hudaij (keduanya putra Mu’awiyah), Muhammad bin Tholhah bin Mushorrif, dan Sa’dan bin Basyir al-Juhani, empat orang tersebut semuanya terpercaya ditambah lagi riwayat Yazid al-Bahili hanya beliau dinyatakan terpercaya oleh beberapa ulama dan dinyatakan dho’if oleh yang lainnya.


    Oleh karena itu, cacat hadits ini hanyalah pada Hasyim bin Sa’id al-Kufi yang majhul (tidak dikenal) sehingga hadits ini dho’if, dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

    Berdzikir Dengan Kedua Tangan atau Tangan Kanan Saja? Hal ini diperselisihkan oleh para ulama.


    Pendapat pertama (12)mengatakan bahwa berdzikir boleh menggunakan kedua tangannya baik kiri atau kanan.

    Dalilnya:

    Keumuman hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan menggunakan “tangannya”, dan tangan mencakup tangan kanan dan kiri, sebagaimana dalam sebuah hadits;

    عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو  قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ  يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَدِهِ


    Dari Abdulloh bin Amr bin Ash Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata: “Aku pernah melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangannya.”
    (HR. at-Tirmidzi: 3486)


    Adapun lafazh hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan menggunakan tangan kanannya, maka hadits ini tergolong hadits syadz (ganjil) yaitu hadits yang menyelisihi riwayat yang lebih shohih yaitu riwayat yang umum mencakup semua tangan. Pendapat kedua (13) mengatakan bahwa berdzikir hanya dengan tangan kanan saja lebih afdhol.

    Dalilnya:

    Ada sebuah hadits shohih menyebutkan bahwa Nabi berdzikir dengan menggunakan tangan kanannya saja, sebagaimana hadits berikut;

    عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو  قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ  يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ

    Dari Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata: “Aku pernah melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud: 1330 dan dishohihkan oleh al-Albani (14)dalam Sislsilah Dho’ifah: 1002)


    Pendapat yang Kuat


    عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو  قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ  يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ

    Pendapat yang kuat insya Alloh adalah pendapat yang kedua yaitu berdzikir hanya dengan tangan kanan saja tidak selayaknya dengan tangan kiri, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu Baz (Fatawa Islamiyyah hlm. 320), beliau berkata: 

    “Sungguh telah sah dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau menghitung tasbihnya (dzikirnya) dengan tangan kanannya, dan barang siapa berdzikir dengan kedua tangannya maka tidak berdosa, lantaran riwayat kebanyakan hadits yang mutlak (mencakup tangan kedua tangan), tetapi berdzikir dengan tangan kanan saja lebih afdhol karena mengamalkan sunnah yang sah dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.”


    Pendapat ini sejalan dengan hadits lain yang muttafaq ’alaihi tentang menggunakan anggota badan yang kanan dalam perkara yang terpuji, di antaranya:

    عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ  يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِ هِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

    Dari Aisyah Rodhiyallohu ‘anha, beliau berkata: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam suka mendahulukan bagian kanan baik dalam bersandal, bersisir, bersuci, dan setiap urusannya.”
    (HR. al-Bukhori 1866 dan Muslim 268)


    Adapun perkataan bahwa hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan tangan kanan saja termasuk hadits syadz (ganjil/janggal), maka pendapat ini tidak benar karena keduanya tidak bertentangan, justru satu dengan yang lain saling melengkapi dan menjelaskan yang masih umum/global.


    Beberapa Mafsadat Biji Tasbih


    Setelah jelas bahwa biji tasbih tidak disyari’atkan dalam berdzikir, kita juga menjumpai beberapa perkara terjadi pada orang yang menggunakan biji tasbih, di antaranya:


    Penggunaan biji tasbih akan mengabaikan sunnah Rosul Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang lebih mulia dan akhirnya terjatuh kepada larangan Alloh yang ditujukan kepada Bani Israil sebagaimana dalam firman-Nya:


    …. Apakah engkau mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?….
    (QS. al-Baqoroh [2]: 61)


    Menggunakan biji tasbih membuat pelakunya lalai dengan apa yang ia ucapkan, dan kita bisa menyaksikan banyak di antara mereka yang menggunakan biji tasbih sedangkan matanya ke sana kemari, karena mereka sudah tahu benar jumlah dzikirnya sesuai dengan jumlah biji tasbih. Berbeda dengan orang yang berdzikir dengan jari-jarinya, dia lebih khusyuk, tidak lalai, dan berusaha mengetahui hitungan dzikirnya dengan jari-jarinya(15).

    Menggunakan biji tasbih sangat dikhawatirkan menimbulkan riya‘ (niat ingin dilihat) dan sum’ah (niat ingin didengar) di dalamnya.

    Kita jumpai banyak di antara mereka mengalungkan biji tasbih yang sangat panjang dan besar, seakan-akan jiwanya berkata kepada kepada manusia: “Lihat wahai manusia, aku selalu berdzikir sebanyak jumlah biji tasbih ini(16).”


    Menggunakan biji tasbih adalah ciri khusus ibadahnya orang Buddha dan Hindu, apabila kita melakukannya maka kita terjatuh pada pelanggaran terhadap larangan menyerupai mereka, sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

    مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

    “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh al-Albani dalam Misykat al-Mashobih: 4347)


    Penutup


    Dzikir menggunakan ruas-ruas jari atau ujung-ujung jari adalah petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling sempurna, yang telah diamalkan oleh generasi terbaik umat ini. Dalam ibadah agama Islam tidak pernah mengenalkan biji tasbih kepada pemeluknya. Oleh karena itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tidak menggunakannya dalam ibadah.
    Kemudian sebagian orang setelah generasi terbaik ini, bersusah payah ingin ibadahnya lebih banyak dan lebih mantap menurut pikiran mereka, lalu mereka meniru kebiasaan orang Buddha, Hindu, dan para pendeta Nasrani dalam ibadahnya, dan tatkala para sahabat mengetahui hal baru ini mereka segera mengingkarinya, untuk menjaga kemurnian agama Islam ini, lalu selanjutnya para ulama kemudian juga mengikuti jalan para salafush sholih dalam berdzikir dan mengingkari hal-hal yang baru dalam agama ini.

    Wallohu A’lam.

    sumber: http://alfurqon.co.id (silahkan merujuk ke website tersebut untuk mengambil manfaat yang lebih banyak)

    ---------------------------------------

    1. Di antaranya kitab as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha kar. Dr. Bakar Abu Zaid (dan kami sarikan tulisan ini dari kitab tersebut. Demikian juga, telah difatwakan tentang masalah ini oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa: 22/506, Ibnul Qoyyim dalam Madarijus Salikin: 3/120, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah no. 83, Fatawa Rosyid Ridho: 3/435, Lajnah Fatwa al-Azhar dalam Majalah al-Azhar jilid 21 th. 1949, Fatawa Lajnah Da‘imah KSA no. 2229, dan lainnya.
    2. Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 43-45.
    3. Akan tetapi, semua hadits tentang biji tasbih terbukti kelemahannya bahkan kepalsuannya sebagaimana kami jelaskan dalam pokok bahasan Hadits-Hadits Tentang Biji Tasbih Tidak Sah.
    4. Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 39. Al-Albani berkata kalimat السبحة (dengan makna biji tasbih) adalah kalimat yang baru yang tidak dikenal oleh orang-orang Arab (Silsilah Dho’ifah: 1/185).
    5. Lihat Ilmu Ushul Bida’ bab/pasal Hadyus Salaf wal Amal bin Nushushil Ammah.
    6. Lihat as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 102-103.
    7. Sebagaimana dikatakan al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/ 184.
    8. Dinukil secara ringkas dari Silsilah Dho’ifah: 1/ 185-187.
    9. Lihat Silsilah Dho’ifah: 3/47
    10. Demikian juga, ada hadits semisal dari Sa’ad bin Abi Waqqosh tetapi dalam sanadnya ada rowi majhul (periwayat tak dikenal) bernama Khuzaimah sebagaimana dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar, demikian juga rowi lainnya bernama Sa’id bin Abi Hilal dikatakan oleh Imam Ahmad rowi yang mukhtalith, dan ditambah lagi sebagian rowi hadits tidak menyebutkan Khuzaimah tetapi langsung dari Aisyah s\ sehingga hadits ini terputus. Kesimpulannya, hadits tersebut cacat—disebabkan oleh adanya rowi majhul—atau hadits tersebut terputus.
    11. Lihat Silsilah Dho’ifah no. 83, dan as-Subhah Tarikhuha wa Hukmuha hlm. 16-19.
    12. Seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Dr. Bakar Abu Zaid dalam kitab La Jadida Fi Ahkamish Sholat: 52-64.
    13. Seperti yang dikatakan oleh Ibnul Jazari dalam Syarah Ibnu Allan Lil Adzkar: 1/255, Ibnu Baz dalam Fatawa Islamiyyah hlm. 320, al-Albani dalam kitabnya Silsilah Dho’ifah: 3/47, demikian juga keputusan fatwa Lajnah Da‘imah KSA dalam fatwa no. 11829 tgl. 23 Romadhon 1422 H.
    14. Demikian pula hadits ini dihasankan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar: 23, al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nata‘ij al-Afkar: 1/18.
    15. Dinukil secara bebas dari Kutub wa Rosa‘il Syaikh Ibnu Utsaimin: 1/198.
    16. Idem.

    ---------------------------------------