Selasa, 22 Desember 2015

Tangan Di Atas

Tangan Di Atas
Lebih Baik Dari Tangan di Bawah


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ

Dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.”
 

TAKHRIJ HADITS.
Hadits ini muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri (no. 1427) dan Muslim no.1053 (124)

KOSA KATA HADITS.
• اَلْيَدُ الْعُلْيَا : Tangan yang di atas (Orang yang memberi)
• اَلْيَدُ السُّفْلَى : Tangan yang di bawah (orang yang menerima)
• بِمَنْ تَعُوْلُ : Orang yang menjadi tanggunganmu, yaitu isteri, orang tua, anak-anak yang masih menjadi tanggungan orang tua dan pelayan (pembantu).
• خَيْرٌ : Lebih baik.
• ظَهْرُ غِنًى : Tidak membutuhkannya, lebih dari keperluan.
• يَسْتَعْفِفْ : Menjaga kehormatan diri atau menahan diri dari meminta-minta.
• يَسْتَغْنِي : Merasa cukup (dengan karunia Allâh).

SYARH HADITS.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah

Yaitu orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima, karena pemberi berada di atas penerima, maka tangan dialah yang lebih tinggi sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Al-Yadus Suflâ (tangan yang dibawah) memiliki beberapa pengertian:

Makna Pertama, artinya orang yang menerima, jadi maksudnya adalah orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Namun ini bukan berarti bahwa orang yang diberi tidak boleh menerima pemberian orang lain. Bila seseorang memberikan hadiah kepadanya, maka dia boleh menerimanya, seperti yang terjadi pada Shahabat yang mulia ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu ketika beliau Radhiyallahu anhu menolak pemberian dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:

خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ

Ambillah pemberian ini! Harta yang datang kepadamu, sementara engkau tidak mengharapkan kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah. Dan apa-apa yang tidak (diberikan kepadamu), maka jangan memperturutkan hawa nafsumu (untuk memperolehnya).”[1]

Demikian juga jika ada yang memberikan sedekah dan infak kepada orang miskin dan orang itu berhak menerima, maka boleh ia menerimanya.

Makna kedua, yaitu orang yang minta-minta, sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، اَلْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ

Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan di atas yaitu orang yang memberi infak dan tangan di bawah yaitu orang yang minta-minta[2].

Makna yang kedua ini terlarang dalam syari’at bila seseorang tidak sangat membutuhkan, karena meminta-minta dalam syari’at Islam tidak boleh, kecuali sangat terpaksa. Ada beberapa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang untuk meminta-minta, di antaranya sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّىٰ يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di wajahnya[3].

Hadits ini merupakan ancaman keras yang menunjukkan bahwa meminta-minta kepada manusia tanpa ada kebutuhan itu hukumnya haram. Oleh karena itu, para Ulama mengatakan bahwa tidak halal bagi seseorang meminta sesuatu kepada manusia kecuali ketika darurat.

Ancaman dalam hadits di atas diperuntukkan bagi orang yang meminta-minta kepada orang lain untuk memperkaya diri, bukan karena kebutuhan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

Barangsiapa meminta-minta (kepada orang lain) tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.’”[4]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا ، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا ، فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Barangsiapa meminta harta kepada orang lain untuk memperkaya diri, maka sungguh, ia hanyalah meminta bara api, maka silakan ia meminta sedikit atau banyak.[5]

Adapun meminta-minta karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak, maka boleh karena terpaksa. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ

Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardiknya.” [Adh-Dhuhâ/93:10]

Dan juga seperti dalam hadits Qâbishah yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 1044) dan lainnya.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ

Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu

Yaitu saat ingin memberikan sesuatu, hendaknya manusia memulai dan memprioritaskan orang yang menjadi tanggungannya, yakni yang wajib ia nafkahi. Menafkahi keluarga lebih utama daripada bersedekah kepada orang miskin, karena menafkahi keluarga merupakan sedekah, menguatkan hubungan kekeluargaan, dan menjaga kesucian diri, maka itulah yang lebih utama. Mulailah dari dirimu! Lalu orang yang menjadi tanggunganmu. Berinfak untuk dirimu lebih utama daripada berinfak untuk selainnya, sebagaimana dalam hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ

Mulailah dari dirimu, bersedekahlah untuknya, jika ada sisa, maka untuk keluargamu[6]

Dalam hadits di awal rubrik ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya untuk memulai pemberian nafkah dari keluarga. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعَظَمُهَا أَجْرًا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.

Satu dinar yang engkau infaqkan di jalan Allâh, satu dinar yang engkau infakkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), satu dinar yang engkau infakkan untuk orang miskin, dan satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya ialah satu dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu[7]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى

Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya

Artinya sedekah terbaik yang diberikan kepada sanak keluarga, fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan adalah sedekah yang berasal dari kelebihan harta setelah keperluan terpenuhi. Artinya, setelah dia memenuhi keperluan keluarganya secara wajar, baru kemudian kelebihannya disedekahkan kepada fakir miskin.

Hadits yang serupa dengan pembahasan ini yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا يَكُنْ عِنْدِيْ مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ،وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

Apa saja kebaikan yang aku punya, aku tidak akan menyembunyikannya dari kalian. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allâh akan menjaganya. Barangsiapa merasa cukup (dengan karunia Allâh) maka Allâh akan mencukupinya. Barangsiapa melatih diri untuk bersabar, maka Allâh akan menjadikannya sabar. Dan tidaklah seseorang diberi sebuah pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada anugerah kesabaran.[8]

Hadits ini mengandung empat kalimat yang bermanfaat dan menyeluruh yaitu:

Kalimat Pertama :

وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ

Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allâh akan menjaganya

Kalimat Kedua :

ومَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ

Barangsiapa merasa cukup (dengan karunia Allâh) maka Allâh akan mencukupinya

Kedua kalimat di atas saling berkaitan, karena kesempurnaan penghambaan diri seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla terletak dalam keikhlasannya kepada Allâh, takut, harap, dan bergantung kepada-Nya, tidak kepada makhluk. Oleh karena itu, wajib baginya untuk berusaha merealisasikan kesempurnaan tersebut, mengerjakan semua sebab dan perantara yang bisa mengantarkannya kepada kesempurnaan tersebut. Sehingga dia menjadi hamba Allâh yang sejati, bebas dari perbudakan seluruh makhluk. Dan itu didapat dengan mencurahkan jiwanya pada dua perkara;

1. Meninggalkan ketergantungan pada seluruh makhluk dengan menjauhkan diri dari apa-apa yang ada pada mereka. Tidak meminta kepada mereka dengan perkataan maupun keadaannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Umar Radhiyallahu anhu :

خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ.

Ambillah pemberian ini. Harta yang datang kepadamu, sedang engkau tidak mengharapkan kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah! Dan apa-apa yang tidak (diberikan kepadamu), maka jangan memperturutkan hawa nafsumu (untuk memperolehnya)[9]

Maka menghilangkan ketamakan dari dalam hati serta menjauhkan lisan dari meminta-minta demi menjaga diri dan menjauhkan diri dari pemberian makhluk serta menjauhkan diri ketergantungan hati terhadap mereka, merupakan faktor yang kuat untuk memperoleh ‘iffah (kesucian diri dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal atau tidak baik).

2. Merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla , percaya dengan kecukupan-Nya, karena barangsiapa bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh Azza wa Jalla akan mencukupinya. Inilah yang dimaksudkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupkan (keperluan)nya...” [Ath-Thalâq/65:3]

Potongan kalimat yang pertama yaitu sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, " Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allâh akan menjaganya," merupakan wasîlah (cara) untuk sampai kepada hal ini. Yaitu barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari apa-apa yang ada pada manusia dan apa-apa yang didapat dari mereka, maka itu mendorong dirinya untuk semakin bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , berharap, semakin menguatkan keinginannya dalam (meraih) kebaikan dari Allâh Azza wa Jalla , dan berbaik sangka kepada Allâh serta percaya kepada-Nya. Allâh Azza wa Jalla bersama hamba-Nya yang berprasangka baik kepada-Nya; jika hamba tersebut berprasangka baik, maka itu yang dia dapat. Dan jika ia berprasangka buruk, maka itu yang dia dapat.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits bahwa Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ

Aku bersama prasangka hamba-Ku terhadap-Ku[10]

Masing-masing dari dua hal tersebut saling membangun dan saling menguatkan. Semakin kuat ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla , maka akan semakin lemah ketergantungannya kepada seluruh makhluk. Begitu juga sebaliknya, semakin kuat ketergantungan manusia kepada makhluk, maka semakin lemah ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Di antara do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu:

اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى، وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ، وَالْغِنَى

Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepadamu petunjuk, ketakwaan, kesucian (dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal dan tidak baik), dan aku memohon kepada-Mu kecukupan[11]

Doa yang singkat ini telah mencakup seluruh kebaikan, yaitu:
• Petunjuk : Yaitu memohon hidayah ilmu yang bermanfaat.
• Ketakwaan : Takwa kepada Allâh yaitu dengan mengerjakan amal-amal shalih dan meninggalkan segala hal yang haram. Inilah kebaikan agama.

Yang menyempurnakan itu semua adalah keshalihan hati dan ketenangannya yang dapat diraih dengan menjauhkan diri dari makhluk dan merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla , maka dia adalah orang kaya yang sesungguhnya, walaupun penghasilannya sedikit. Karena kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan yaitu kekayaan hati. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

(Hakikat) kaya bukanlah dengan banyaknya harta benda, namun kaya (yang sebenarnya) adalah kaya hati (merasa ridha dan cukup dengan rezeki yang dikaruniakan)[12]

Dengan iffah (kesucian diri) dan merasa berkecukupan maka akan terwujud kehidupan yang baik bagi seorang hamba, nikmat dunia, dan qanâ’ah (merasa puas) atas apa yang Allâh berikan padanya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ


Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allâh berikan kepadanya[13]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

طُوْبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الْإِسْلَامِ، وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا، وَقَنِعَ

Berbahagialah orang yang mendapat petunjuk untuk memeluk Islam, dan diberi rezeki yang cukup serta merasa puas (qana’ah)[14]

Orang yang merasa cukup dan qanâ’ah (merasa puas dengan apa yang Allâh karuniakan) –meskipun dia hanya mempunyai bekal dan makanan hari itu saja– maka seolah-olah ia memiliki dunia dan seisinya.

Kalimat ketiga:

وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ

Barang siapa yang melatih diri untuk bersabar, maka Allâh akan menjadikan dia sabar

Kemudian disebutkan dalam kalimat keempat bahwa jika Allâh Azza wa Jalla memberikan kesabaran kepada seorang hamba, maka pemberian itu merupakan anugerah yang paling utama dan pertolongan yang paling luas serta paling agung. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ

Dan mohonlah pertolongan (kepada Allâh) dengan sabar dan shalat...” [Al-Baqarah/2:45], yaitu dalam setiap perkara kalian.

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ

Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allâh dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.”[An-Nahl/16:127]

Sabar, seperti halnya akhlak-akhlak terpuji lainnya, membutuhkan kesungguhan jiwa dan latihan. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang melatih diri untuk bersabar,” yaitu orang yang mencurahkan jiwanya untuk bersabar, “Maka Allâh Azza wa Jalla akan menjadikannya sabar,” yaitu Allâh akan menolongnya agar ia bisa bersabar.
Sabar itu merupakan pemberian yang paling agung, karena ia berkaitan dengan semua urusan seorang hamba dan sebagai penyempurnanya. Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam segala keadaan selama hidupnya.

Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam segala hal, di antaranya:
  1. Dalam menjalankan ketaatan kepada Allâh sampai dia bisa mengerjakan dan menunaikannya.
  2. Sabar dalam menjauhkan maksiat kepada Allâh sampai dia bisa meninggalkannya karena Allâh Azza wa Jall.
  3. Sabar atas takdir-takdir Allâh yang menyakitkan sampai dia tidak marah karenanya.
  4. Bahkan seorang hamba membutuhkan sabar atas nikmat-nikmat Allâh dan hal-hal yang dicintai oleh jiwa, sehingga dia tidak membiarkan jiwanya tenggelam dalam kesenangan dan kegembiraan yang tercela, tetapi dia terus menyibukkannya dengan bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla.
Kesimpulannya, seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam setiap keadaannya. Dengan kesabaran, seorang hamba akan mendapat kemenangan. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan tentang penghuni surga dalam firman-Nya :

وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ ﴿٢٣﴾ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

“...Sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;(sambil mengucapkan), ‘Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu.’ maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.” [Ar-Ra’du/13: 23-24]

Begitu juga firman-Nya :

أُولَٰئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا

Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka... [Al-Furqân/25:75]

Mereka mendapatkan surga berserta kenikmatannya dan mendapatkan tempat-tempat yang tinggi karena kesabaran. Seorang hamba harus meminta kepada Allâh Azza wa Jalla agar diselamatkan dari cobaan yang tidak diketahui akibatnya, namun jika cobaan itu datang kepadanya, maka kewajibannya adalah bersabar.

Dalam al-Qur'ân dan lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allâh Azza wa Jalla telah berjanji akan memberikan perkara-perkara yang tinggi dan mulia bagi orang-orang yang bersabar. Di antara perkara-perkara tersebut:
  • Allâh Azza wa Jalla berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan. [Al-A’râf/7:137]
  • Allâh Azza wa Jalla bersama mereka dengan pertolongan, taufik, dan kelurusan dari-Nya [Al-Anfâl/8: 46]
  • Allâh Azza wa Jalla mencintai orang-orang yang bersabar. [Ali ‘Imrân/3:146]
  • Allâh Azza wa Jalla menguatkan hati dan kaki mereka, memberi ketenangan kepada mereka, memudahkan mereka untuk melakukan ketaatan dan menjaga mereka dari perselisihan.
  • Allâh Azza wa Jalla mengaruniakan kepada mereka shalawat, rahmat, dan hidayah ketika musibah menimpa mereka. [Al-Baqarah/2:155-157]
  • Allâh Azza wa Jalla meninggikan derajat mereka di dunia dan akhirat.
  • Allâh Azza wa Jalla menjanjikan kemenangan buat mereka, akan memberikan kemudahan, dan menjauhkan mereka dari kesulitan.
  • Allâh Azza wa Jalla menjanjikan kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan buat mereka. [Ali ‘Imrân/3:200]
  • Allâh Azza wa Jalla memberi mereka ganjaran tanpa perhitungan. [Az-Zumar/39:10]

Sabar itu awalnya sangat sulit, tetapi akhirnya mudah dan terpuji.
Sebagaimana dikatakan:

وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ

Sabar itu pahit rasanya seperti namanya
Tetapi akhirnya lebih manis daripada madu

FAWAA-ID.
  1. Orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima.
  2. Dianjurkan bersedekah dan berinfak kepada kaum Muslimin yang membutuhkan.
  3. Minta-minta hukumnya haram dalam Islam.
  4. Bila seseorang diberi sesuatu tanpa diminta, maka ia boleh menerimanya.
  5. Seorang Muslim wajib memberi nafkah kepada orang yang berada dalam pemeliharaan, seperti isteri, anak, orang tua dan pembantu.
  6. Dimakruhkan menyedekahkan apa yang masih dibutuhkan atau menyedekahkan seluruh apa yang dimilikinya, sehingga dia tidak terpaksa meminta-minta kepada orang lain.
  7. Sebaik-baik sedekah yaitu sedekah yang diambilkan dari kelebihan harta setelah kebutuhan kita terpenuhi.
  8. Memelihara diri dari meminta-minta dan merasa cukup dengan pemberian Allâh Azza wa Jalla dapat membuahkan rezeki yang baik dan jalan menuju kemuliaan.
  9. Orang yang menjaga kehormatan dirinya (‘iffah), maka Allâh Azza wa Jalla akan menjaganya.
  10. Orang-orang yang tidak meminta-minta kepada manusia, maka dia akan mulia.
  11. Orang yang qanâ’ah (merasa puas dengan rezeki yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan), dia adalah orang yang paling kaya.
  12. Orang yang merasa cukup dengan rezeki yang Allâh karuniakan kepadanya, maka Allâh Azza wa Jalla akan mencukupinya.
  13. Orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla wajib menghilangkan ketergantungan hatinya kepada makhluk. Dia wajib bergantung hanya kepada Allâh Azza wa Jalla .
  14. Orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla wajib bertawakkal hanya kepada Allâh dan merasa cukup dengan rezeki yang Allâh karuniakan.
  15. Seorang Mukmin wajib melatih dirinya untuk sabar.
  16. Wajib sabar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dalam menjauhkan dosa dan maksiat, serta sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian.
  17. Pemberian yang paling baik yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada seorang hamba adalah kesabaran.

MARAJI’.
  1. Kutubussittah.
  2. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
  3. Bahjatun Nâzhiriin Syarh Riyâdhis Shâlihîn.
  4. Syarh Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
  5. Bahjatu Qulûbil Abrâr fii Syarh Jawâmi’il Akhbâr, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
  6. ‘Idatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 1473) dan Muslim (no. 1045 (110))
[2]. Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 1429) dan Muslim (no. 1033), dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[3]. Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (103)).
[4]. Shahih: HR. Ahmad (IV/165), Ibnu Khuzaimah (no. 2446), dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (IV/15, no. 3506-3508). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6281), dari Hubsyi bin Junadah Radhiyallahu anhu
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 1041), Ahmad (II/231), Ibnu Majah (no. 1838), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 10767), al-Baihaqi (IV/196), Abu Ya’la (no. 6061), dan Ibnu Hibbân (no. 3384-at-Ta’lîqâtul Hisân).
[6]. Shahih: HR. Muslim (no. 997), dari Jâbir Radhiyallahu anhu
[7]. Shahih:HR. Muslim(no. 995), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[8]. Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhâri (no. 1469, 6470) dan Muslim (no. 1053 (124)) dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu
[9]. Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 1473) dan Muslim (no. 1045 (110)).
[10]. Muttafaq ‘alaih: HR.Al-Bukhâri (no. 7405, 7505) dan Muslim (no. 2675) dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu
[11]. Shahih: HR. Muslim (no. 2721), at-Tirmidzi (no. 3489), Ibnu Majah (no. 3832), dan Ahmad (I/416, 437), dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu
[12]. Shahih: HR. Ahmad (II/243, 261, 315), Al-Bukhâri (no. 6446), Muslim (no. 1051), dan Ibnu Majah (no. 4137), dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu
[13]. Shahih: HR. Muslim (no. 1054) dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu
[14]. Shahih: HR. Ahmad (VI/19), at-Tirmidzi (no. 2349), al-Hâkim (I/34, 35), ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (XVIII/786, 787), dan selainnya dari Fadhâlah bin ‘Ubaid al-Anshâri Radhiyallahu anhu

Minggu, 20 Desember 2015

Good Women Will Get Good Men


GOOD WOMEN WILL GET GOOD MEN

Surah An Nuur 26
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
««•»»
 alkhabiitsaatu lilkhabiitsiina waalkhabiitsuuna lilkhabiitsaati waalththhayyibaatu lilththhayyibiina waalththhayyibuuna lilththhayyibaati ulaa-ika mubarrauuna mimmaa yaquuluuna lahum maghfiratun warizqun kariimun
««•»»
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga) {1035}.
{1035} Ayat ini menunjukkan kesucian `Aisyah r.a. dan Shafwan dari segala tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Rasulullah adalah orang yang paling baik Maka pastilah wanita yang baik pula yang menjadi istri beliau.
««•»»
Vicious women are for vicious men, and vicious men for vicious women. Good women are for good men, and good men for good women.1 These are absolved of what they say [about them].2 For them is forgiveness and a noble provision.
1. Or, ‘Vicious words (or deeds) come from vicious persons, and vicious persons are worthy of vicious words (or deeds). Good words (or deeds) come from good people, and good people are worthy of good words (or deeds).’ According to this interpretation, this verse is similar in meaning to 17:84. This interpretation is also supported by the last part of the verse: ‘They are absolved of what they say [about them].’ However in accordance with the translation given above, the meaning of the verse will be similar to verse 24:3, at the beginning of this sūrah.
2. That is, persons of good repute among the faithful stand legally absolved of any kind of allegations against them unless there is valid evidence to the contrary.
««•»»

Tafsir Jalalain:
 
(Wanita-wanita yang keji) baik perbuatannya maupun perkataannya (adalah untuk laki-laki yang keji) pula (dan laki-laki yang keji) di antara manusia (adalah buat wanita-wanita yang keji pula) sebagaimana yang sebelumnya tadi (dan wanita-wanita yang baik) baik perbuatan maupun perkataannya (adalah untuk laki-laki yang baik) di antara manusia (dan laki-laki yang baik) di antara mereka (adalah untuk wanita-wanita yang baik pula) baik perbuatan maupun perkataannya.
Maksudnya, hal yang layak adalah orang yang keji berpasangan dengan  orang yang keji, dan orang baik berpasangan dengan orang yang baik. (Mereka itu) yaitu kaum laki-laki yang baik dan kaum wanita yang baik, antara lain ialah Siti Aisyah dan Sofwan (bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka) yang keji dari kalangan kaum laki-laki dan wanita. (Bagi mereka) yakni laki-laki yang baik dan wanita yang baik itu (ampunan dan rezeki yang mulia) di surga.
Siti Aisyah merasa puas dan bangga dengan beberapa hal yang ia peroleh,  antara lain, ia diciptakan dalam keadaan baik, dan dijanjikan mendapat  ampunan dari Allah, serta diberi rezeki yang mulia.

Berangkat dari pemahaman di atas, tentu saja kita bertanya-tanya  apakah yang dimaksud baik di sini? Atau keji? Apakah kita dapat  menentukan sesuatu itu baik atau tidak baik? Kalau kita cermati, ayat di  atas merupakan satu paket ayat yang bersambung ,tidak hanya putus pada  kalimat “untuk wanita yang baik” tetapi masih berlanjut dengan bahasan  tuduhan , juga ampunan. Artinya ayat ini sebenarnya diturunkan dalam  konteks tertentu.

Coba kita lihat konteks ayat ini turun (asbabun  nuzul);
“Ayat ini diturunkan untuk menunjukkan kesucian ‘Aisyah ra.  dan Shafwan bin al-Mu’attal ra. dari segala tuduhan yang ditujukan  kepada mereka. Pernah suatu ketika dalam suatu perjalanan kembali dari  ekspedisi penaklukan Bani Musthaliq,
‘Aisyah terpisah tanpa sengaja dari  rombongan karena mencari kalungnya yang hilang dan kemudian diantarkan  pulang oleh Shafwan yang juga tertinggal dari rombongan karena ada suatu  keperluan. Kemudian ‘Aisyah naik ke untanya dan dikawal oleh Shafwan  menyusul rombongan Rasulullah SAW dan para sahabat, akan tetapi  rombongan tidak tersusul dan akhirnya mereka sampai di Madinah.
Peristiwa ini akhirnya menjadi fitnah di kalangan umat muslim kala itu  karena terhasut oleh isu dari golongan Yahudi dan munafik jika telah  terjadi apa-apa antara ‘Aisyah dan Shafwan.

Tetapi coba lihat konteksnya, di dalam Tafsir Ibnu Katsir jilid 6 Pustaka Imam Syafii halaman 32, dijelaskan bahwa yang dimaksud laki-laki yang baik dalam ayat ini adalah Rasulullah SAW sebagai manusia yang paling baik sedangkan wanita yang baiknya adalah Aisyah ra sebagai isteri Rasulullah SAW.

Abdurrahman bin Zaid bin Aslam pun menjelaskan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah wanita yang jahat hanya pantas bagi laki-laki yang jahat dan laki-laki yang jahat hanya cocok bagi wanita yang jahat. Wanita yang baik hanya layak bagi laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik hanya patut bagi wanita yang baik.
Perhatikan! Hanya pantas, hanya cocok, hanya layak, hanya patut, ini tidak berarti wanita yang baik pasti akan mendapat laki-laki yang baik atau sebaliknya. Mau bukti?

Pasti semua kenal dengan Fir’aun.
"Sesungguhnya dia adalah orang yang sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas." (QS. Ad Dukhaan:31).

Bahkan dengan beraninya, (Seraya) berkata:"Akulah tuhanmu yang paling tinggi".
(QS. An Naazi’at : 24).

Tapi coba perhatikan isterinya ! "Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim."
(QS. At-Tahrim : 11)

Ternyata terbukti, seorang wanita yang baik belum tentu mendapat laki-laki yang baik, lalu perhatikan lagi contoh ini !

"Perhatikan bagaimana istri Nabi Luth dibinasakan, Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)."
(QS.Al-A’raaf:83).

Waw, seorang Nabi mendapatkan istri yang demikian! Tidak hanya Nabi Luth yang dapat istri seperti itu, tapi juga Nabi Nuh !

"Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)".
(QS. At-Tahrim : 10)

Ternyata terbukti, seorang laki-laki yang baik belum tentu mendapat wanita yang baik!

Shalih atau tidaknya seseorang, baik atau tidaknya diri kita, itu urusan kita kepada Allah. Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintakan pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Tetapi jika kita mendapat pasangan yang tidak baik maka sangat mungkin itu adalah ujian dari Allah swt.

Di dalam Al-Qur’an pun disebutkan,
"Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara ISTERI-ISTERIMU dan ANAK-ANAKMU ada yang menjadi MUSUH bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. At Taghaabun : 14)

Juga di dalam Al-Qur’an "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: WANITA-WANITA, ANAK-ANAK, HARTA yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)"
(QS. Ali ‘Imran: 14)

Maka sangat baiklah jika kita berdoa. "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Furqaan : 74)

Hmmm, menarik bukan?
Bahkan di sekitar kita juga banyak contoh yang bisa kita saksikan. Ada wanita shalihah, malah mendapat laki-laki bermasalah. Ada laki-laki yang rajin ibadah, malah sering dikihianati wanita yang banyak berulah. Siapa menyangka, banyak orang beribadah berujung pada kekecewaan.
Karena mereka mempunyai tujuan, orientasi, motivasi, atau niat yang salah: shalat Dhuha agar menjadi kaya, sedekah agar mendapat gaji berlipat atau jadi orang shalih agar mendapat istri/suami shalih.
Padahal setiap shalatnya kita selalu bersumpah, dengan doa iftitah inna shalati wanusuki, wamahyaya, wamamati lillahirabbil’alamin (Sesungguhnya Shalatku, Ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan Semesta Alam).

Kesimpulan.
Bahwa segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya
(H.R. Bukhori No:01 dan Muslim No:1907).

Segala amal ibadah haruslah diniatkan hanya kepada Allah swt. sehingga mendapat balasan yang setimpal dari Allah swt. Allah menjanjikan balasan itu, tapi tidak selalu semua balasan akan kita terima di dunia ini. Orang-orang yang kecewa itu karena hanya berharap pada balasan yang langsung dia dapat di dunia.
Jadi, kalau mau rajin ibadah, ya beribadahlah karena Allah SWT. Kalau mau menjadi orang shalih, ya jadilah orang shalih karena Allah SWT. Kita tidak akan MERUGI apalagi KECEWA jika segala sesuatu dikerjakan dengan IKHLAS hanya karena Allah SWT, bukan karena wanita yang ingin dinikahi, atau dunia yang ingin dimiliki.

Pasti semua tahu, beginilah orang-orang shalih menerima balasannya.

"Tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan"
(QS.Sabaâ:37)

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya {670}, di bawah mereka mengalir sungai- sungai di dalam syurga yang penuh kenikmatan.”
(QS. Yunus :9)
{670}.Maksudnya: diberi petunjuk oleh Allah untuk mengerjakan amal-amal yang menyampaikan surga.

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik {839} dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS.An-Nahl:97)
{839}. Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.

Sabtu, 03 Oktober 2015

Menulis Status di Fesbuk

 ««•»»
MENULIS STATUS DI FESBUK
««•»»
Tulislah dengan hati kamu. Hati yang suci dan penuh dengan keikhlasan.

Sayyidi Al-Habib Syed Abdul Kadir Al-Joofre pernah menceritakan kepada saya dan sahabat-sahabat. Ketika itu beliau menziarahi kami yang baru sahaja ditimpa musibah dan kehilangan tulisan-tulisan setelah laptop kami dicuri.

Beliau juga pernah menulis sebuah kitab berkenaan Faraid. Namun terdapat masalah pada laptopnya lalu tulisan itu hilang. Beliau menceritakan apa yang terjadi kepada gurunya. Maka, kata guru beliau :

"Mungkin kamu ada rasa tidak ikhlas ketika menulis."

Saya tersentak seketika. Mulai dari itu, saya akan sentiasa perbaharui niat saya ketika saya sedang menulis. Saya juga akan pastikan diri saya sentiasa berada dalam keadaan berwudhuk, lebih-lebih lagi ketika sedang menulis.

Benar. Keikhlasan itu perlu. Untuk membuatkan tulisan kita itu sampai dan memberi kesan pada hati orang yang membacanya, ia perlu datang dari hati kita. Dari hati akan sampai ke hati.

Bila meng'update' atau 'comment' sesuatu status itu bayangkan, kalaulah Rasulullah ﷺ ada disebelah kita, rasa-rasanya dia akan tersenyum gembira atau tidak dengan tulisan kita itu.

"Shollu'ala Sayyidina Muhammadin wa 'ala ali sayyidina Muhammad."

Hal ini bukan berkaitan status facebook sahaja, malah apa sahaja yang berkaitan dengan penulisan. Akhir kalam, saya tinggalkan anda semua dengan kalam Al-Habib Umar yang saya rasa amat bermakna:
"Kita semua akan pergi, maka tinggalkanlah sesuatu yang memberi manfaat kepada kita di SANA nanti."
««•»»


Minggu, 26 Juli 2015

Mensyukuri Nikmat Hidayah


Oleh:
Ustadz Abdullah Taslim, M.A.

Ceramah tentang “Mensyukuri Nikmat Hidayah” ini disampaikan secara live di Radio Rodja dan Rodja TV pada Jumat malam, 9 Syawwal 1436 / 24 Juli 2015, pukul 20:30-21:30 WIB. Ceramah tematik yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Taslim ini mengetengahkan tentang hakikat bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus hakikat ibadah yang sebenar-benarnya. Alhamdulillah, kini Anda dapat mengunduh / mendownload rekaman ceramah agamanya.

Para ulama menyebutkan bahwasanya seutama-utama rezeki dan ini adalah yang paling utama ditunjukkan dalam nama Allah, Ar-Razzaq, Yang Maha Pemberi Rizqi… Seutama-utama rezeki adalah rezeki yang berupa iman, hidayah untuk mengenal Islam, hidayah untuk dimudahkan berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hidayah untuk istiqomah di atas agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Maka dari itu, ketika seseorang setelah berakhirnya masa-masa ibadah yang indah di bulan Ramadhan tetap dia berusaha melaksanakan (dan) menetapi ketekunan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi dia berusaha melaksanakan puasa-puasa sunnah, melaksanakan ibadah-ibadah shalat malam, berdzikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an, ini bukan cuma merupakan pertanda kebaikannya di bulan Ramadhan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, insya Allah, tetapi lebih dari itu, ini justru merupakan wujud syukur yang paling besar atas nikmat kemudahan dalam beribadah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya. Maka dari itu, ibadah, berdzikir kepada Allah, yang maknanya mencakup semua ibadah yang Allah syari’atkan, ini merupakan seutama-utama bentuk syukur atas nikmat yang Allah berikan kepada kita.

Kita ketahui bersama, hadits yang shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim, tentang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Aisyah radhiyallahu Ta’ala ‘anha, yang ketika menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat malam dengan bacaan yang sangat panjang, sampai-sampai ‘Aisyah radhiyallahu Ta’ala anha mengatakan:

قَامَ حَتَّى تَوَرَّمَتْ قَدَمَاهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun di malam hari untuk shalat malam sampai-sampai bengkak kedua kaki beliau (saking lamanya berdiri).”

Kemudian, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

تَفْعَلُ ذَلِكَ وَقَدْ غُفِرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ ؟

“Wahai Rasulullah, kenapa engkau lakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu semua, yang lalu maupun yang akan datang?”

Kenapa harus rajin ibadah seperti ini? Kenapa harus berdiri shalat malam selama ini?
Padahal dosa-dosa telah diampuni?

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mencontohkan sebaik-baik ibadah, sebaik-baik syukur kepada nikmat yang diberikan Rabb-nya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, menjawab dengan jawaban yang kita kenal bersama:

أَفَلا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

“Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Subhanallah, jawaban yang sangat bijaksana dan sangat tepat. Semakin banyak nikmat, harusnya semakin banyak bersyukur.

Mari tingkatkan amal ibadah kita sebagai wujud syukur kita atas segala nikmat yang Allah berikan kepada kita, terutama nikmat Islam ini.
««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»
sumber: http://www.situssunnah.com/?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+ArtikelSitusSunnah+%28Artikel+Situs+Sunnah%29#!/articles/mensyukuri-nikmat-hidayah-ustadz-abdullah-taslim-m-a

Minggu, 12 Juli 2015

Lailatul Qadar

Perbanyak Ibadah Ketika Lailatul Qadar

Memperbanyak ibadah ketika lailatul qadar sangat dianjurkan. Untuk mendapatkan kesempatan beramal yang nilainya lebih baik dari pada seribu bulan. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan janji, siapa yang melakukan qiyamul lail di malam qadar, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa yang melakukan qiyamul lail di malam qadar maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat.
(HR. Bukhari 1901 & Muslim 1817).

Yang dipermasalahkan dari pembahasan ini adalah apakah ada shalat khusus lailatul qadar, yang diistilahkan dengan shalat lailatul qadar?

Sebagian masyarakat menggunakan hadis di atas untuk menyatakan adanya shalat laitul qadar. Sementara itu sama sekali bukan hadis. Namun kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga itu bukan dalil.

Dengan demikian, tidak ada shalat khusus di malam qadar. 
Yang dianjurkan ketika lailatul qadar adalah memperbanyak ibadah apapun di malam itu. Baik bentuknya shalat, baca al-Quran, dzikir, dst.

Terutama membaca doa lailatul qadar yang itu diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai jawaban atas pertanyaan Aisyah Radhiyallahu ‘anha,

اللَّـهُـمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ تُـحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

ALLAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat Yang Maha Pemaaf dan Pemurah maka maafkanlah diriku.
Sumber:
http://www.ayat-kursi.com/2015/07/bagaimana-cara-shalat-lailatul-qadar.html

Senin, 09 Maret 2015

Satu Tamparan Tiga Pertanyaan Terjawab




Seorang anak muda yang baru kembali ke kampung halamannya setelah belajar di luar, meminta kepada keluarganya untuk memanggil seorang Ustadz untuk menjawab tiga pertanyaan yang akan dia ajukan. Setelah mendapatkan Ustadz yang dicari, terjadilah percapakan ini.

Pemuda:
"Siapakah anda? Bisa kah anda menjawab tiga pertanyaan saya?"
Ustadz:
"Saya hanya seorang hamba Allah, dan saya akan menjawab pertanyaan anda."
Pemuda:
"Apakah anda yakin? Telah banyak ulama yang tak mampu menjawab pertanyaan saya!"
Ustadz:
"Saya akan berusaha sekuat tenaga, dengan izin Allah saya akan menjawab pertanyaanmu."

Pemuda:
"Saya punya tiga pertanyaan:
  1. Apakah Allah itu ada? Jika ada perlihatkan padaku bentuknya.
  2. Apakah itu Qodo dan Qodar?
  3. Jika setan diciptakan dari api, mengapa dia dihukum dengan dilemparkan ke dalam api, sedang itu tidak akan berpengaruh untuk dia...?"
Uztadz tiba2 langsung menampar dengan keras wajah pemuda itu.

Pemuda terkejut dan bertanya:
"Mengapa engkau menampar aku? Apa yang membuat engkau marah padaku seperti itu?"
Uztadz:
"Bukan aku marah, tapi itu lah jawaban dari ke tiga pertanyaanmu tadi."
Pemuda:
"Aku tak paham…"
Ustadz::
"Apa yang kamu rasakan setelah aku tampar?"
Pemuda:
"Tentu saja aku merasa sakit."
Ustazd:"
"Lalu, apakah kamu yakin rasa sakit itu ada…?"
Pemuda:
"Ya"
Ustadz:
"Lalu perlihatkan padaku, bagaimana bentuknya?"
Pemuda:
"Aku tak bisa."
Ustadz:
"Itulah jawaban atas pertanyaanmu yang pertama. Kita semua merasakan keberadaan Allah tapi kita tak bias melihatNYA."

Ustadz:
"Apakah kamu bermimpi kemarin bahwa aku akan menamparmu?"
Pemuda:
"Tidak."
Ustadz:
"Apakah terlintas dalam benakmu bahwa aku akan menamparmu?"
Pemuda:"Tidak."
Ustaz:
"Itulah yang dinamakan “Qodo dan Qodar “

Ustadz:"
"Tanganku yang menamparmu terbuat dari apa?"
Pemuda:
"Tanah."
Ustadz:
"Apa yang kamu rasakan setelah aku menamparmu?"
Pemuda:
"Aku merasa sakit."
Ustadz:
"Tepat sekali..! Lalu mengapa tanah dapat membuat tanah merasa sakit? Itulah kehendak Allah. Walaupun setan terbuat dari api, tapi dengan kehendak Allah api itu akan menjadi siksaan yang amat pedih bagi setan.

Sumber:
COPAS DARI:
Cheru Rasyad
(https://www.facebook.com/cheru.rasyad)
di Grup: Kajian KItab al-Hikam Ibnu Athoillah Assakandari
(https://www.facebook.com/groups/178724628959782/)

Sabtu, 07 Maret 2015

Meneladani Sosok KH. M.Ishaq Latif


 Oleh: Imam Subhi

“Hari Jumat, menjelang saya menyampaikan khutbah (masjid di lampung), terkirimlah kabar melalui BBM bahwa KH. M. Ishaq Latief telah dipanggil menghadap Ilahi Rabbi. Hari itu merupakan saksi sejarah, perpisahan sang “Pencinta Ilmu” dengan ribuan santri yang masih haus dengan kesejukan ilmu beliau.”

Alangkah indahnya, jika bisa terus bersama sosok seperti KH. Ishaq Latif,  tenang dan menyejukkan hati dan jiwa. Jikalau umur bisa ditawar layaknya sim card HP yang bisa diperpanjang masa aktifnya, mungkin saja santri Tebuireng minta diperpanjang hingga unlimited. Inilah takdir. Seperti yang sering beliau ungkapkan bahwa manusia ibarat pewayangan yang eksistensinya ditentukan oleh seorang dalang yang maha memiliki. Memang, saya bukan termasuk santri lama, yang bisa bersua dengan beliau (alm.KH.Ishaq Latief) karena baru tahun 1999 masuk Tebuireng.

Waktu itu situasi pondok masih kental dengan bangunan-bangunan tradisional sehingga ketika malam hari agak terlihat menyeramkan,maklum masih santri baru. Di awal perjalanan mondok,saya baru tau itupun info dari kakak kelas bahwa setiap ba’da isya ada pengajian kitab kuning, kiyainya sepuh tapi kocak abis. Dari situ saya penasaran masa ada kyai mbanyol sih. Malam pertama saya ikuti walupun belum punya kita nya, seingat saya waktu itu nama kitabnya ‘Tanqihul Qaul’. Pengajian yang unik,  dengan suara menggelegar, perserta membanjir hingga ke pinggir kali depan pondok, ditambah banyolan yang khas sehingga membuat peserta pengajian terkesan hidup.

Setidaknya ada beberapa ciri khas beliau yang membuat dirinya menjadi kharismatik.

PERTAMA

Istiqomah.
 Beliau sosok yang istiqomah, setiap hari setelah isya beliau rutin ngisi pengajian kitab,walaupun pesertanya pasang surut, bahkan tertidur. Kata beliau Sing penting ngurip-nguripi pesantren, ono bedone kuburan lan pondok. selain itu beliau juga punya jamaah di tempat kelahirannya sidoarjo.

Libur pengajian hanya malam selasa n jumat,atau mungkin ada undangan tausiyah, selebihnya beliau aktif terus, Seingat saya beliau tidak pernah meliburkan pengajian kalau hanya urusan remeh umpama ada final sepak bola, apalagi pura-pura sakit. Bahkan kalau sakit pun masih dipaksakan untuk ngaji. Dan terakhir ketika  sakit keras itulah libur terpanjang sepanjang pengajian berlangsung.

KE·DUA

Sederhana.
Gaya yang sederhana beliau hampir sering mengecoh santri, dengan baju khas lengan pendek, dengan percaya diri sambil menggoes sepeda ontel kesayangannya,walau sesekali bergaya anak muda dengan motor mega pro nya. gaya itu tidak memperlihatkan bahwa beliau seorang kyai yang alim. Sering santri  terkecoh temasuk penulis ketika berpapasan dengan beliau antara pasar cukir dan pondok  justru beliau lah yang menyapa duluan.

Tetapi perlu dicatat ketika beliau mau tampil ceramah beliau benar-benar perfeksionis, mulai warna dan kesesuain pakaian beliau sangat hati-hati dalam mengenakan, “tampil dimuka umum harus menarik dan berwibawa” ujar beliau.  Selain itu urusan makan pun tidak ingin selalu makan mewah n mahal, yang rutin tempe atau tahu plus teh manis satu gelas besar. Ya sesekali makan daging ayam biasanya sate H. Fakih I dan II langganannya.

Dan menurut beberapa sumber beliau pun dengan wong cilik seperti akrab dengan tukang becak yang biasa transit depan pondok maupun pasar cukir, hampir semua kenal beliau.

KE·TIGA

Disiplin dan kerja keras.
Beliau sangat menghargai waktu, terutama berkaitan dengan ilmu, tiada kata lain selain belajar dan belajar,  bahkan beliau menuturkan sendiri termasuk gila sepak bola, tapi beliau rela meninggalkan hobinya demi ilmu. Suatu ketika saya sowan setelah pengajian rutin, lagi ngobrol asyik-asyiknya, beliau langsung minta maaf pada beberapa santri yang kebetulan lagi sowan juga, untuk mengakhiri obrolan  karena sudah waktunya mutholaah. Dalam bahasa manajemen beliau mampu menentukan mana sekala prioritas mana yang sekedar senang-senang. Bagaimana dengan kita, pilih ilmu atau hobby,lanjut ngobrol atau belajar?

KE·EMPAT

Bijaksana.
Sikap yang satu ini mungkin jarang dimiliki oleh Kyai sepuh lainya, salah satunya tampak ketika menyampaikan pengajian, mengingat peserta pengajian di Tebuireng berasal dari berbagai daerah tentu kemampuan bahasa bervareasi (jawa, sunda, madura, sumatra, bali, papua, kalimantan dll) walau kebiasaan beliau terbiasa bahasa jawa,tapi beliau lebih memilih bahasa Indonesia kombinasi Jawa.  Beliau lebih berfikir bukan selesainya kitab,  tapi bagaimana isi kitab dimengerti oleh santri yang lintas kultur dan bahasa. Inilah yang di sebut dalam dunia pendidikan sebagai pendidikan transformatif. Tidak kalah hebatnya ketika beliau di ingatkan oleh santri, saat beliau keliru membacanya, beliau terima dengan lapang dada serta spontanitas beliau ucapkan ‘matur suwun mari ngene mangan’ (terima kasih habis ini makan), jawabnya dengan santai. Ini dalam konsep pendidikan disebut pendidikan partisipatif. Sungguh hebat, tak mengenyam dunia perkuliahan, tapi beliau lebih dulu mengamalkannya.

KE·LIMA

Humoris.
Keceriaan selalu ada disaat pengajian, ini yang membuat peserta gayeng ngaji dengan beliau, meskipun ngantuk sekejap bisa tidak ngantuk lagi. Gimana mau ngantuk setiap banyolan reaksi santri sangat histeria ada yang teriak, tiup peluit, terompet, pukul ember, almari dll. Entah mengapa sampai begitu, tapi itu faktanya.  Andaikata setiap guru bisa membangkitkan gairah belajar seperti beliau, maka guru dan santri akan harmonis, mungkin saja tidak akan ada kekerasan dalam proses pendidikan, apalagi cambuk.

KE·ENAM

Loyalitas Tinggi.
Mendengar dan melihat transaksi wakaf tanah untuk pondok, musholla, masjid dan panti asuhan sudah biasa. Tapi jarang yang melihat mewaqofkan dirinya untuk sebuah lembaga. Tapi beliau dengan tulus dan ikhlas mewakafkan sepanjang hidupnya untuk Pesantren Tebuireng, dan ini beliau proklamirkan pada saat penutupan pengajian Pesantren Ramadhan tahun 2010, waktu itu disaksikan oleh Gus. Sholah yang baru menerima tampuk kepengasuhan, dan ribuan peserta pengajian.

Memang tidak formal menyampaikannya, melainkan dengan gaya guyonan beliau yang ringan dan santai. Tapi bagi saya itu udah cukup untuk menggambarkan bahwa beliau adalah milik Santri Pesantren Tebuireng. Bukti cukup banyak, salah satunya disaat pra guru, pejabat ramai-ramai minimal kenaikan gaji, dan pangkat. Beliau tidak pernah demo, atau usul kepengasuh minta hal itu, tapi justru beliau lebih giat dan introspeksi diri, apakah sudah banyak yang disumbangkan untuk santri Tebuireng?. Maka benar ada ungkapan “jangan berfikir berapa banyak yang diperoleh,melainkan seberapa besar yang telah disumbangkan”.

KE·TUJUH

Alim dan pencinta ilmu.
Ajining diri dumu ing lati, ajining rogo soko busono. Ini yang beliau amalkan, maksudnya setiap beliau mengisi pengajian, dan berbicara di masyarakat semua ada dasar pijakannya. Kemudian beliau sosok yang kokoh prinsip dan mentalnya. Beliau rela meninggalkan kesenangan-kesenangan yang umumnya dicari dan dirasakan semua orang. Disaat seorang laki-laki harus berkeluarga, bercengkrama dengan istri dan anak-anaknya. Beliau justru semakin mesra bersama tumpukan-tumpukan kitab kuning, buku, majalah, koran, serta ditemani pena yang selalu ikut disakunya, itu semata-mata demi keluasan ilmu santrinya.

Selamat jalan guru ku, semoga kita berjumpa lagi, seperti titah engkau  pada kami “anta ma’a man ahbabta”. (kamu sekalian akan berkumpul dengan orang yang kamu cintai), jika badan dapat berasua, niscaya mungkin materi bisa ku bagi,  namun karena badan tak mungkin jumpa, hanya doa yang ku panjatan.  Kami akan selalu berdoa, hanya ini yang bisa kami berikan, walaupun kami yakin tanpa do’a kami dengan amal dan keikhlasan yang engkau dedikasikan selama ini, itu sudah cukup untuk mendapat balasan yang terbaik dari sang Dalang Alam Semesta. Mengutip sastrawan  asal madura Zawawi Imron,  jangan terlena dengan asapnya sejarah, tapi jadilah apinya sejarah, yang mampu menjadi pembakar semangat kita,  terlmpau banyak keshalihan beliau, pilihannya apakah kita jadikan asap atau apinya sejarah?

Imam Subhi, Alumnus PP. Tebuireng, kini tinggal Bandar lampung, 28 februari 2015
Sumber: http://tebuireng.org/meneladani-sosok-kh-m-ishaq-latif/

Senin, 02 Februari 2015

Hukum Merayakan Hari Lahir (ulang tahun) Seseorang

««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»
Apa hukum merayakan berlalunya satu atau dua tahun atau lebih atau kurang dari dua tahun dari kelahiran seseorang yang biasa disebut ulang tahun atau meniup lilin. Dan apa hukumnya menghadiri pesta perayaan ini. Apakah bila seseorang diundang pada acara tersebut wajib menghadirinya ataukah tidak. Berilah kami jawaban. Dan semoga Allah memberi pahala bagi Anda.
««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»


Alhamdulillah. Dalil-dalil syariat dari kitab dan sunnah menunjukkan bahwa perayaan hari ulang tahun termasuk bid'ah yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada asalnya dalam syariat yang suci dan tidak boleh memenuhi undangan tersebut karena hal itu berarti mendukung dan mendorong kepada kebid'ahan dan 
Allah Ta'ala berfirman:

أَم لَهُم شُرَكاءُ شَرَعوا لَهُم مِنَ الدّينِ ما لَم يَأذَن بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَولا كَلِمَةُ الفَصلِ لَقُضِيَ بَينَهُم ۗ وَإِنَّ الظّالِمينَ لَهُم عَذابٌ أَليمٌ
am lahum syurakaau syara'uu lahum mina alddiini maa lam ya/dzan bihi allaahu walawlaa kalimatu alfashli laqudhiya baynahum wa-inna alzhzhaalimiina lahum 'adzaabun aliimun

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih."

Do they have partners [besides Allah] who have ordained for them a religion which has not been permitted by Allah? Had it not been for the conclusive word,[1] decision would have been made between them. For the wrongdoers there is indeed a painful punishment.
[1] Or ‘the final word.’ That is, Allah’s promise to provide the faithless and to grant them a respite before retribution. See 2:36,126;9:68-69;15:3;31:23-24.
 (QS. Asy Syuura [42]:21)
««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»

ثُمَّ جَعَلناكَ عَلىٰ شَريعَةٍ مِنَ الأَمرِ فَاتَّبِعها وَلا تَتَّبِع أَهواءَ الَّذينَ لا يَعلَمونَ
إِنَّهُم لَن يُغنوا عَنكَ مِنَ اللَّهِ شَيئًا ۚ وَإِنَّ الظّالِمينَ بَعضُهُم أَولِياءُ بَعضٍ ۖ وَاللَّهُ وَلِيُّ المُتَّقينَ
tsumma ja'alnaaka 'alaa syarii'atin mina al-amri faittabi'haa walaa tattabi' ahwaa-a alladziina laa ya'lamuuna
innahum lan yughnuu 'anka mina allaahi syay-an wa-inna alzhzhaalimiina ba'dhuhum awliyaau ba'dhin waallaahu waliyyu almuttaqiina

"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui."
"Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. Dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa."

Then We set you upon a clear course of the Law; so follow it, and do not follow the desires of those who do not know.
Indeed they will not avail you in any way against Allah. Indeed the wrongdoers are allies of one another, but Allah is the guardian1 of the Godwary.
(QS Al Jatsiyah  [45]:18-19).
««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»

اتَّبِعوا ما أُنزِلَ إِلَيكُم مِن رَبِّكُم وَلا تَتَّبِعوا مِن دونِهِ أَولِياءَ ۗ قَليلًا ما تَذَكَّرونَ
ittabi'uu maa unzila ilaykum min rabbikum walaa tattabi'uu min duunihi awliyaa-a qaliilan maa tadzakkaruuna

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya {528}. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)."
{528} Maksudnya: pemimpin-pemimpin yang membawamu kepada kesesatan.

Follow what has been sent down to you from your Lord, and do not follow any masters besides Him. Little is the admonition that you take!
(QS. Al A'raaf [7] :3)
««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»««•»»

Ada hadits yang shahih dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam, bahwa
Sesungguhnya beliau bersabda:
"Barangsiapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka dia tertolak."
(HR. Muslim di dalam shahihnya.)

Dalam hadits lain beliau bersabda:
"Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam . Dan sejelek-jelek urusan adalah hal yang diada-adakan dan setiap kebid'ahan adalah sesat."

Kemudian perayaan ini selain bid'ah munkaroh yang tidak ada asalnya dari syariat juga di dalamnya terkandung tasyabbuh (menyerupai) dengan Yahudi dan Nashara tentang peringatan hari lahir. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam telah bersabda mewanti-wanti dari sunnah dan jalan hidup mereka:

"Kalian pasti akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal sehingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak pun pasti kalian akan memasukinya." Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashara ?"

Beliau menjawab:
"Siapa lagi?"
(HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahihain.)

Dan makna " Siapa lagi?" artinya merekalah orang-orang yang dimaksud dengan perkataan Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam ini.

Perayaan ulang tahun adalah bid’ah. Mengapa? Ada dua landasan yang diikuti oleh umat Islam: Qur’an dan sunnah Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam. Sunnah ini kemudian terbagi atas ucapan, perbuatan, atau niat Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam yang kemudian tidak sempat terlaksana karena beliau meninggal dunia sebelum sempat melaksanakannya.

Mengucapkan selamat ulang tahun (istilah yang kemudian diarabisasikan adalah milad dan hari lahir) ini adalah salah satu hal yang tidak dituntunkan oleh teladan umat Islam, Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam.

Jika mengucapkan selamat hari lahir adalah tuntunan, Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam pasti akan membiasakan hal tersebut pada umatnya. Selain itu, tradisi perayaan ulang tahun atau hari lahir ini adalah budaya kaum nonmuslim.

Berdasarkan hadis Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam, seseorang yang mengikuti suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan itu
Beliau Shalallahu 'Alaihi Wasallam pun bersabda:
"Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum itu."
(HR. Abu Daud)

Karenanya, umat muslim yang memiliki prinsip hidup yang unik tidak diperbolehkan untuk mengikuti kaum lain, apalagi kaum kafir dan nonmuslim. Kegiatan yang mengikuti tradisi umat lain dinamakan juga tasyabbuh.

Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam juga bersabda :
"Belum sempurna keimanan salah seorang di antara kalian, sebelum hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (al-Qur’an)."
(Hadits ke-41 dalam Hadits al-Arba’in karya Imam Nawawi).

Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangat banyak.


Perayaan hari lahir ini telah tercipta sejak jaman Nabi Nuh as. Salah satu anaknya kemudian mengadakan perayaan hari lahirnya. Ditengarai, bahwa tradisi perayaan ulang tahun sudah ada di Eropa sejak berabad-abad silam. Orang-orang pada zaman itu percaya, jika seseorang berulang tahun, setan-setan berduyun-duyun mendatanginya. Nah, untuk melindunginya dari gangguan para makhluk jahat tersebut, keluarga dan kerabat pun diundang untuk menemani, sekaligus membacakan doa dan puji-pujian bagi yang berulang tahun. Pemberian kado atau bingkisan juga dipercaya akan menciptakan suasana gembira yang akan membuat para setan berpikir ulang ketika hendak mendatangi orang yang berulang tahun. Ini memang warisan zaman kegelapan Eropa.

Berdasarkan catatan tersebut, awalnya perayaan ulang tahun hanya diperuntukkan bagi para raja. Mungkin, karena itulah sampai sekarang di negara-negara Barat masih ada tradisi mengenakan mahkota dari kertas pada orang yang berulang tahun. Namun seiring dengan perubahan zaman, pesta ulang tahun juga dirayakan bagi orang biasa. Bahkan kini siapa saja bisa merayakan ulang tahun. Utamanya yang punya duit.

Jadi Tradisi ulang tahun sama sekali tidak memiliki akar sejarah dalam islam. Islam tak pernah diajarkan untuk merayakan ulang tahun. Kalau pun kemudian ada orang yang berargumen bahwa dengan diperingatinya Maulid Nabi, hal itu menjadi dalil kalo ulang tahun boleh juga dalam pandangan Islam. Maka ini adalah argumen yang tidak tepat.


Tentang Maulid Nabi
Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam sendiri tak pernah mengajarkan kepada kita melalui hadisnya untuk merayakan maulid Nabi. Maulid Nabi, itu bukan untuk diperingati, tapi tadzkirah, alias peringatan.
Maksudnya?
Jika kita baca buku tarikh Islam, di dalamnya terdapat catatan bahwa Sultan Shalahuddin al-Ayubi amat prihatin dengan kondisi umat Islam pada saat itu. Di mana bumi Palestina dirampas oleh Pasukan Salib Eropa. Sultan Shalahuddin menyadari bahwa umat ini lemah dan tidak berani melawan kekuatan Pasukan Salib Eropa yang berhasil menguasai Palestina, lebih karena mereka sudah terkena penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati).
Mereka bisa menjadi seperti itu karena mengabaikan salah satu ajaran Islam, yakni jihad. Bahkan ada di antara mereka yang tidak tahu menahu dengan perjuangan Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam dan para sahabatnya.
Untuk menyadarkan kaum muslimin tentang pentingnya perjuangan, Sultan Shalahuddin menggagas ide tersebut, yakni tadzkirah terhadap Nabi, yang kemudian disebut-entah siapa yang memulainya-sebagai maulid nabi.
Tujuan intinya mengenalkan kembali perjuangan Rasulullah Shalallaahu 'Alayhi Wasallam dalam mengembangkan Islam ke seluruh dunia. Singkat cerita, kaum muslimin saat itu sadar dengan kelemahannya dan mencoba bangkit.
Dengan demikian, berkobarlah semangat jihad dalam jiwa kaum muslimin, dan bumi Palestina pun kembali ke pangkuan Islam, tentu setelah mereka mempecundangi Pasukan Salib Eropa. Jadi Maulid nabi bukan dalil dbolehkannya pesta ulang tahun.


Ada pertanyaan seperti ini,
“Bolehkah merayakan ulang tahun dalam arti berdoa atau mendoakan agar yang berulang tahun selamat, sehat, takwa, panjang umur, dan seterusnya. Semua itu dilakukan dengan cara dan isi doa yang syar’i, tanpa upacara tiup lilin dan sebagainya seperti cara Barat, lalu dilanjutkan acara makan-makan. Bolehkah?”

Berdoa dan makan-makan adalah halal. Tetapi bila dilakukan pada hari seseorang berulang tahun, maka akan terkena hukum haram ber-tasyabbuh bil kuffar. Jadi di sini akan bertemu hukum haram dan halal.


Dalam kondisi seperti ini wajib diutamakan yang haram daripada yang halal sebab kaidah syara’ menyebutkan :
Idza ijtama’a al halaalu wal haraamu, ghalaba al haramu al halaala.
Artinya, “Jika bertemu halal dan haram (pada satu keadaan) maka yang haram mengalahkan yang halal.”
(Kitab as-Sulam, Abdul Hamid Hakim).



dihimpun dari berbagai sumber.




Senin, 19 Januari 2015

Akhlak





AKHLAK

Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.
 
Definisi

Kata akhlak diartikan sebagai suatu tingkah laku, tetapi tingkah laku tersebut harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja. Seseorang dapat dikatakan berakhlak jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran apalagi pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keterpaksaan untuk berbuat. Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan terpaksa bukanlah pencerminan dari akhlak.
Dalam Encyclopedia Brittanica, akhlak disebut sebagai ilmu akhlak yang mempunyai arti sebagai studi yang sistematik tentang tabiat dari pengertian nilai baik, buruk, seharusnya benar, salah dan sebaginya tentang prinsip umum dan dapat diterapkan terhadap sesuatu, selanjutnya dapat disebut juga sebagai filsafat moral.
 
Syarat

Tolong-menolong merupakan salah satu akhlak baik terhadap sesama

Ada empat hal yang harus ada apabila seseorang ingin dikatakan berakhlak.
  1. Perbuatan yang baik atau buruk.
  2. Kemampuan melakukan perbuatan.
  3. Kesadaran akan perbuatan itu
  4. Kondisi jiwa yang membuat cenderung melakukan perbuatan baik atau buruk
Sumber

Akhlak bersumber pada agama. Perangai sendiri mengandung pengertian sebagai suatu sifat dan watak yang merupakan bawaan seseorang. Pembentukan perangai ke arah baik atau buruk, ditentukan oleh faktor dari dalam diri sendiri maupun dari luar, yaitu kondisi lingkungannya. Lingkungan yang paling kecil adalah keluarga, melalui keluargalah kepribadian seseorang dapat terbentuk.
Para ahli seperti Al Gazali menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.
 
MENU RISALAH
(Klik/SENTUH Menu di bawah ini)
 
☼[Lalai untuk Belajar Islam]☼
☼[Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar Islam]☼
☼[Kemuliaan Ilmu dan Ulama]☼
☼[Bahaya Bicara Agama Tanpa Ilmu]☼
☼[Tahapan Dalam Menuntut Ilmu]☼
☼[Pengaruh Teman Bergaul]☼
☼[Menebar Kasih Sayang]☼
☼[Tawakkal]☼
☼[Jangan Marah]☼
☼[Bahaya Lisan]☼
☼[Ucapan Lemah Lembut pada Orang Tua]☼
☼[Hakikat Sabar (1)]☼
☼[Hakikat Sabar (2)]☼
☼[Tebarkan Salam]☼
☼[Seberkas Cahaya di Tengah Gelapnya Musibah']☼
☼[Sombong vs Tawadhu]☼
☼[Masa Muda, Waktu Utama Beramal Sholeh]☼
☼[Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu]☼
☼[Miskin Tapi Kaya]☼
Source: http://id.wikipedia.org/wiki/Akhlak